Ketika Persahabatan Memudar

(John VandenOever)

Bagaimana seharusnya perasaan kita ketika relasi-relasi berakhir?

Baru-baru ini, ketika berjalan-jalan di pagi hari melewati pepohonan, saya berhenti sejenak untuk merenungkan seberkas cahaya hangat yang menerobos dari sela-sela atas pohon. Ribuan partikel debu berputar-putar dalam cahaya itu, tak terhitung dan tak terpegang. Saya mengingat semua orang yang telah berlalu lalang dalam hidup saya selama bertahun-tahun — dan betapa hati saya selalu bersedih karena beberapa dari relasi yang paling berarti dan bermanfaat hanya terjadi selama semusim. Relasi-relasi itu memudar dan berubah tanpa dapat dihindari—orang-orang pindah tempat dan meninggalkan pekerjaan, atau ketersediaan mereka sirna ketika mereka menghadapi tantangan baru.

Tetapi terlalu sering saya memikirkannya mulai dari diri sendiri, bertanya-tanya di mana saya mungkin sudah “menjatuhkan bola”. Apakah saya sudah mengabaikan kebutuhan mereka? Apakah saya sudah menggoda mereka dengan cara yang terasa kasar? Apakah saya sudah gagal memberi dukungan dan menghargai seorang teman?

Lucu juga betapa selalu menyalahkan diri sendiri yang muncul. Sepertinya saya ingin percaya bahwa saya telah melakukan sesuatu yang tak dapat dimaafkan daripada menerima kenyataan bahwa ada waktunya untuk setiap situasi maupun orang tertentu — dan sebenarnya, kehangatan yang saya rasakan  pada mereka kemungkinan besar adalah kehangatan yang sama yang terus mereka rasakan pada saya.

Saya perlu memiliki resep berelasi seperti yang dicontohkan Yesus di bumi. Dia mengasihi ratusan orang, meskipun Dia hanya memiliki selusin teman dekat dan tiga yang terkarib. Jadi saya lalu meminta Tuhan untuk menolong saya melihat manfaat yang tak terhitung banyaknya dari semua orang yang saya kenal — dan membiarkan pemberian waktu dan dorongan semangat mereka ada pada saya. Plus sesuatu yang lain: menolong saya untuk ingat untuk mendoakan orang-orang yang terlintas di pikiran dan merasakan kepuasan bahwa mengirimkan pesan yang bijaksana kepada mereka saja sudah cukup.

Merenungkan relasi-relasi itu membuat saya sadar betapa pentingnya mencurahkan diri saya pada orang-orang yang sekarang ada di dekat saya. Seperti dikatakan Ibrani 3:13, “Tetapi nasihatilah seorang akan yang lain setiap hari, selama masih dapat dikatakan ‘hari ini’ supaya jangan ada di antara kamu yang menjadi tegar hatinya karena tipu daya dosa.” Saya percaya itu artinya menunjukkan rasa hormat dan kemurahan hati kepada orang-orang yang ditempatkan Tuhan dalam hidup saya. Jadi, sekalipun kedekatan kami akhirnya memudar, saya yakin suatu hari saya dapat menghargai kehangatan cahaya kenangan yang sudah kami ciptakan bersama – dalam cara kami mengasihi dan melayani satu sama lain. Dan dalam cara kami saling mendorong dan menyemangati satu sama lain ke arah Kristus.