Kisah Tentang Kasih Yang “Nekat”

(Winn Collier)

Merenungkan kembali perumpamaan tentang Orang Samaria yang baik hati

Perumpamaan Orang Samaria yang baik hati termasuk di antara beberapa cerita Yesus yang mudah diingat, entah Anda termasuk orang yang bergereja atau tidak. “Menjadi orang Samaria yang Baik Hati” sudah menjadi indikasi langsung dari budaya yang menunjukkan kemurahan dan menolong orang yang kurang beruntung. Tetapi cerita Yesus jauh lebih mendalam dari sekadar cerita dongeng yang berisi ajaran-ajaran yang mendorongperbuatan baik secara umum.

Di dalam Lukas 10, perumpamaan tentang Orang Samaria yang baik hati bukan merupakan cerita moral yang harus kita telaah atau cocokkan, tetapi cerita yang kita hidupi. Cerita itu mengembangkan imajinasi kita, mengajak kita menapaki jalan mengerikan di negeri berbahaya itu, memahami ancaman kejahatan bersenjata di setiap tikungan tak dikenal, merasakan konflik tentang cara melibatkan keyakinan-keyakinan agama kita dalam situasi-situasi pelik, menggumuli arti mengasihi sesama yang sebenarnya, dan memahami cara Yesus mewujudkan kasih yang nekat.

Ketika seorang dari ahli-ahli agama Israel berusaha menjebak Yesus dengan keruwetan-keruwetan teologis yang sangat memusingkan, Yesus membalikkan interogasi itu: Bagaimana kamu memahami hakikat Hukum Allah? Dengan jawaban taktis yang cenderung tidak terkontrol, penanya yang gusar itu mendapati dirinya mengucapkan kata-kata yang sudah dikutip Yesus dari kitab Ulangan, yang merupakan hukum yang terutama dan inti dari seluruh pengajaran Kitab Suci: “Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu dan dengan segenap akal budimu, dan kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri” (Lukas 10:27).

Jawabmu itu benar, kata Yesus. Perbuatlah demikian.

Tetapi untuk membenarkan dirinya orang itu berkata kepada Yesus: “Dan siapakah sesamaku manusia?” Tanpa menunjukkan emosi, Yesus lalu menyampaikan sebuah cerita.

Cerita Yesus diawali dengansituasi tak menyenangkan, dengan menggambarkan seorang yang melintasi jalan yang penuh bahaya dari Yerusalem ke Yerikho dan kemudian dilumpuhkan oleh para penjahat bersenjata. Bandit-bandit itu memukulinya dan merampoknya habis-habisan dan meninggalkannya di tengah jalan dalam keadaan sekarat. Lalu, seorang imam melewati jalan itu, namun, ketika ia melihat orang yang berdarah-darah itu, ia menyeberang jalan dan melewatinya dengan cepat. Setelah itu, datanglah juga seorang Lewi (yang tampaknya akan ke bait suci), dan ia juga melewatinya dari seberang jalan, yang kemungkinan sudah mengganggunya dalam mendendangkan lagu pujian dan melafalkan ayat Alkitab favorit.”

Orang ketiga, seorang Samaria, mulai memperbaiki situasi itu, meskipun ia adalah tokoh terburuk yang dapat dimasukkan Yesus ke dalam cerita itu, jika Dia berharap dapat menarik orang Yahudi yang saleh ini kepada cara berpikir-Nya. Orang Yahudi dan orang Samaria saling membenci. Mereka memiliki permusuhan teologis, masing-masing menganggap yang lain tidak benar. Mereka memiliki pertentangan rasial, masing-masing menganggap yang lain lebih rendah. Ketika orang Yahudi bertemu orang Samaria, mereka menghindarinya seperti wabah penyakit. Kesucian bisa tercemar. Dan reputasi juga. Kita melihat ketegangan seperti ini masih berlangsung antara orang Kristen dan Muslim, antara kelompok kulit putih dan kulit berwarna, antara orang yang berpendidikan tinggi atau punya uang dengan yang tidak.

Namun tahukah Anda bahwa justru orang Samaria yang dijauhi inilah yang berbelas kasihan kepada orang yang seharusnya ia benci, membalut luka-lukanya yang parah, dan menaikkannya ke atas keledainya. Orang Samaria ini membawa orang sekarat itu ke rumah penginapan, menyewa kamar dan membayar biayanya, dan meminta pengurus penginapan memenuhi kebutuhannya selama diperlukan – atas tanggungannya. Orang Samaria ini mencurahkan kemurahan hatinya bukan kepada anggota keluarga, atau teman, atau bahkan orang yang memiliki kesamaan etnis atau keyakinan teologis dengannya. Orang Samaria ini menunjukkan kasih karunia yang nekat ini kepadasesama manusia.

Tentu saja semuanya tidak benar dalam cerita ini. Orang-orang dengan doktrin yang benar (imam dan orang Lewi) tidak mentaati perintah Allah, sementara orang yang imannya diragukan (orang Samaria) mentaati perintah-Nya. Sungguh memalukan—dan penting sekali diingat—bahwa mempercayai hal yang benar tidak selalu membuatorang melakukan hal yang benar. Ketidakseimbangan cerita ini bahkan makin ditegaskan ketika para penafsir kuno (Ambrosius, Origenes, Augustinus) secara khusus memahami Yesus sebagai Orang Samaria yang Baik Hati. Bayangkan: Yesus menempatkan diri-Nya sebagai tokoh “buruk” yang datang untuk menyelamatkan orang yang dianggap rendah, tak berdaya dan tersisih. Kedengarannya seperti Injil Kabar Baik.

Ada hal lain juga yang salah di sini. Seluruh perubahan ini dimulai ketika ahli agama itu bertanya, siapa sebenarnya sesama manusia yang harus ia kasihi. Sementara dalam pertanyaan penutup Yesus (“Siapakah di antara ketiga orang ini, menurut pendapatmu, adalah sesama manusia dari orang yang jatuh ke tangan penyamun itu?”), hal yang ditekankan Yesus bukan menjelaskan siapakah sesama yang sedang membutuhkan pertolongan. Melainkan, Yesus mendesak kita untuk menggumuli apakah kita adalah sesama manusia bagi siapa saja yang kita jumpai di sepanjang jalan hidup kita. Yesus tampaknya seperti menjawab pertanyaan yang salah. Padahal, sebenarnya, Yesus menjawab pertanyaan yang tepat – yang tidak ditanyakan.

Menurut Yesus, orang yang dalam kebutuhan yang sangat maupun orang dalam kelimpahan sumber daya terikat dalam komunitas persahabatan. Kita semua ada di dalamnya. Salah satu kebenaran aneh dari perumpamaan ini adalah bahwa kita akan menemukan Yesus dalam diri setiap orang yang kita jumpai, sekalipun orang itu adalah yang paling kita benci.Dalam diri setiap orang yang dikasihi Allah, kita menemukan sesama kita: setiap orang yang sangat menderita atau pun sangat bahagia; setiap orang yang kita anggap sahabat atau pun musuh; setiap orang yang memiliki rekening gendut atau pun tanpa uang sedikit pun.

Beberapa pakar mengatakan bahwa Yesus tidak menempatkan diri-Nya sebagai Orang Samaria yang Baik Hati, tetapi (secara mengejutkan) sebagai orang yang berdarah-darah, orang yang menderita kekerasan tangan manusia. Tafsiran ini ada benarnya, meski memerlukan sedikit penjelasan yang baik. Yang kemungkinan salah adalah melihat Yesus sebagai salah satu tokoh saja. Karena di atas kayu salib, Yesus menderita bagi dan bersama kita (orang yang berdarah-darah) dan juga menyembuhkan kita (Orang Samaria yang baik hati). Bagaimanapun Yesus melampaui semua ungkapan kebaikan manusia. Dia bukan saja tokoh dalam cerita itu. Yesuslah cerita itu yang sesungguhnya.

Kasih yang nekat kepada sesama di pusat perumpamaan ini tidak bisa dikacaukan dengan upaya-upaya rancangan manusia tentang kebajikan dan kemurahan hati. Cerita ini menunjuk kepada kasih Yesus yang berkorban dan tak terkira. Di dalam Kristus, Allah sudah menderita dan juga menyelamatkan, mengasihi yang bahkan tidak dikasihi dengan penyerahan diri yang tak masuk akal. Dan sekarang Allah juga mengundang kita, dengan kekuatan Roh Kudus, untuk bergabung dengan-Nya menjadi pelaku-pelaku kasih yang nekat. Menjadi sesama manusia.