Makan, Minum, Dan Puas

(Kayla Yiu)

Apa yang diajarkan tubuh kita tentang haus dan lapar akan kebenaran

Tidak jauh dari rumah saya ada jalan kecil untuk pejalan kaki dan pengendara sepeda – salah satu bagian dari banyak jalan melingkar yang mengelilingi pusat kota. Di beberapa tempat, jalan itu terpotong di antara gudang yang ditinggalkan dan parit berpagar tanaman. Di tempat lain, jalan itu menyusuri tempat-tempat hiburan sederhana dan toko-toko murah. Sepanjang tepinya dihiasi patung-patung dan karya seni jalanan, yang membuatnya menjadi koridor paling berwarna dan ramah di kota itu.

Pada minggu yang lain, saya melompat ke jalur ini untuk berlari, sebagai persiapan untuk pertandingan mendatang, dan mengambil rute yang lebih panjang dari biasanya. Beberapa kilometer pertama, saya menikmati orang-orang yang menonton dan irama kaki saya, tetapi saat sudah mencapai setengah jalan, saya mulai merasakan kehausan yang luar biasa sampai-sampai saya berpikir untuk mampir di Dunkin’ Donuts mencari minuman. Tetapi saya tetap berlari.

Tak heran jika kilometer-kilometer terakhir terasa berat – peringatan-peringatan tubuh saya tulus. Tetapi saya akhirnya berhasil pulang, meskipun dengan sangat kelelahan, dan sebelum saya melakukan peregangan, sebelum saya mematikan headphone, dan sebelum saya menyapa suami, saya meneguk Gatorade. Minuman itu langsung memuaskan saya.

Kita biasanya tidak memikirkan tentang mekanisne rasa haus, tetapi tahukah Anda bahwa minum sesungguhnya memicu tubuh kita untuk melepaskan dopamin? Itulah sebabnya tegukan pertama menghilangkan rasa haus kita sebelum minuman itu benar-benar memenuhi kebutuhan tubuh kita akan air. Secara teori (dan mungkin juga dalam kondisi medis tertentu) kebutuhan tubuh ini dapat dipenuhi sama efektifnya dengan memasukkan cairan langsung ke dalam perut. Kita mendapat asupan, tetapi tanpa pelepasan dopamin yang memberi kita kepuasan atau merasa makan/minum.

Tak heran jika Tuhan yang merancang tubuh kita dengan cara kerja seperti ini juga mengucapkan perkataan ini kepada orang banyak di lereng sebuah gunung: “Berbahagialah orang yang lapar dan haus akan kebenaran, karena mereka akan dipuaskan. “ Dalam Ucapan Bahagia ini saya selalu mendengar perintah halus untuk terus konsisten merindukan Tuhan dan kerajaan-Nya di bumi ini. Tetapi orang yang memiliki sejarah berjalan dengan Tuhan tentu tahu betapa sulitnya (jika tidak mustahil) pengejaran yang terus-menerus dan sepenuh hati itu.

Itu adalah hal yang sulit di dunia yang menyukai kemajuan ini, di mana kita memandang kehidupan sebagai lintasan yang selalu bergerak naik ke arah yang lebih baik dan aktualisasi diri. Kita berkata kita tidak berharap menjadi pengikut Yesus yang sempurna, tetapi kita sangat berharap kita bisa menjadi lebih baik dengan semakin lamanya kita mengenal Dia. Keyakinan ini tampak dalam cara kita menyebut relasi kita dengan Yesus: “berjalan” dengan Dia dalam “perjalanan” iman kita. Kita seakan percaya bahwa menjadi benar itu semudah berlari dari satu titik ke titik lainnya, semudah mencapai target-target latihan yang saya tetapkan setiap minggu. Mungkin benar kita sudah terarah ke tujuan tertentu—kepenuhan kerajaan Tuhan—tetapi ini tidak berarti pertumbuhan selalu merupakan proses yang terstruktur rapi.

Perjalanan adalah sebuah gambaran yang umum bagi manusia seperti kita yang dibatasi ruang dan waktu, tetapi bagaimana dengan Tuhan? Bagaimana Dia, yang tidak terikat waktu, merasakan hidup Anda dan saya? Di tempat kita melihat tahun-tahun hidup kita ditandai pada sumbu x dan y, apakah Dia melihat tulisan cakar ayam seorang anak kecil – yang serampangan dan menyenangkan, yang tanpa awal atau akhir? Atau yang lebih baik lagi, apakah Dia melihat sebuah lukisan utuh dan bertekstur, berlapis-lapis dan beraneka warna? Kebenaran sempurna yang Yesus berikan pada kita sekali dan untuk selamanya menunjukkan bahwa waktu tidak bisa memengaruhi kedudukan kita bersama Dia dan kepuasan kita yang berhubungan dengan kasih-Nya.

Ketika Yesus menyebut orang-orang yang lapar dan haus, Dia berbicara dari pengenalan akan kebutuhan-kebutuhan tubuh-Nya sendiri. Sesungguhnya Dia juga membutuhkan makanan dan air – sesungguhnya dorongan-dorongan-Nya juga naik turun sesuai irama biologis yang kita semua kenali. Namun, meskipun Dia memahami hal itu, Dia tetap memilih untuk menggambarkan pengejaran akan kebenaran dengan ilustrasi nafsu makan/minum. Dengan melakukan hal itu, Yesus menekankan bahwa, kerinduan kita akan relasi yang dipulihkan dengan Tuhan harus sungguh-sungguh, tetapi Dia juga tahu bahwa usaha-usaha kita seringkali tidak sekonsisten suara “keroncongan” di perut kita.

Rasa lapar kita selalu berubah—pada menit-menit menjelang makan, dalam setiap gigitan, pada jam-jam berikutnya. Ini terjadi pada orang-orang yang memiliki hak istimewa untuk menantikan makanan, pada orang-orang yang mengalami kelaparan, dan pada semua orang yang berada di antaranya. Setiap gigitan makanan yang kita telan – entah cuma itu satu-satunya atau satu dari sekian gigitan – dihancurkan oleh enzim-enzim dalam perut, dan nutrisi-nutrisinya diserap melalui dinding-dinding usus untuk dialirkan ke dalam darah. Karena kita orang yang masih hidup, bernapas, hal-hal ini mengubah susunan kimiawi kita dan mengubah kebutuhan-kebutuhan kita, entah kita menyadarinya atau tidak. Kabar baiknya adalah karena Tuhan menciptakan tubuh kita seperti ini, nutrisi-nutrisi akan menopang kita cukup lama sesudah kita menghabiskan makanan yang masuk – melewati rasa lapar yang awal, melewati perut kita yang kenyang,membawa kita ke nafsu makan berikutnya. Semua bekerja di balik layar secara misterius dan tertib setiap menit sepanjang hari, entah kita merasakan keingingan untuk makan minum atau tidak.

Dengan memahami semua ini, kita melihat bahwa perkataan Yesus, “Berbahagialan orang yang haus dan lapar akan kebenaran” sangatlah logis. Dia bisa saja memberkati keinginan yang tak pernah berhenti, dengan gambaran tentang darah yang mengalir deras dari urat-urat nadi kita, tetapi Dia tahu kerinduan akan jalan-Nya dan kerajaan-Nya akan dimengerti paling baik melalui perut – sebuah ilustrasi yang sesuai dengan kemanusiaan kita, yang mengingatkan kita bahwa Dia adalah Tuhan tanpa penghukuman, bahwa Dia benar-benar merupakan Kabar Baik.

Pada saat-saat ketika kita benar-benar melupakan Dia, ketika kita tidak merindukan Dia dan menginginkan pembaruan segala sesuatu, kita dapat bersandar pada kebenaran-Nya dan membiarkan kebenaran itu menolong kita. Seperti semua yang kita makan dan minum, Yesus menopang kita darihari yang satu ke hari berikutnya, entah kita menyadarinya atau tidak. “Berbahagialah orang yang lapar dan haus akan kebenaran, karena mereka akan dipuaskan (Matius 5:6). Dipuaskan bukan ketika kita lapar dan haus, tetapi karena kita lapar dan haus. Dan karena kita adalah milik Tuhan yang dapat dipercaya, tidak dipengaruhi oleh waktu, dan yang melihat orang yang sama di awal maupun di akhir perjalanan.