Menanti Di Ujung Jalan Masuk

(Michelle Van Loon)

Natal adalah waktu yang tepat untuk merenungkan kedatangan Yesus kembali.

Desah napas ibu saya makin melemah, rentang detak jantungnya juga semakin pendek. Secara bergantian, saya dan saudara perempuan saya membisikkan kata-kata cinta di telinganya. Dan kemudian, dengan satu tarikan napas terakhir, yang hampir tak kentara, dari tubuhnya yang digerogoti kanker, ia berpulang.

Pada saat itu saya melihat perawat yang berada di ruang perawatan khusus bersama kami memeriksa nadinya, dan kemudian mencatat waktu saat itu di kartu data ibu saya. Jam berapakah saat itu? Dan, tahun berapa? Saya sampai lupa hari dan waktu karena saya terus-menerus berjaga-jaga selama keadaan ibu makin memburuk. Tindakan sigap perawat itu membawa saya kembali ke waktu dan tempat saat itu dari tempat di mana waktu tampaknya lebur dalam kekekalan.

Kita adalah makhluk yang dibatasi-waktu, yang seringkali dikendalikan oleh penanda waktu, rencana-rencana dan kalender kita. Meskipun kita yang mengikut Yesus berbicara tentang hidup yang kekal, kita cenderung mengatakan hal itu tanpa memikirkan apa artinya kekekalan itu bagi kita, selain dari kata surga setelah kita meninggal. Kekekalan adalah untuk nanti, atau setidaknya setelah kita menyelesaikan daftar tugas yang harus dikerjakan hari ini.

Tugas-tugas dan jadwal kita setiap hari itu tampak penting dan mendesak sampai kekekalan menyeruak masuk ke acara kita yang sudah diatur rapi. Ketika saya mendapati ibu saya akan segera meninggal, kalender saya tidak berarti lagi. Petugas di tempat perawatan pasien terminal itu menjelaskan pada saya bahwa dunia di sekitar pasien akan berangsur-angsur hilangsampai menjadi seukuran ranjang kematiannya saja.Tetapi di tempat inilah kekekalan justru tampak paling dekat bagi pasien itu – dan bagi orang-orang terkasih yang mendampinginya di samping tempat tidurnya.

Menunggu adalah tempat kekekalan dapat bersinggungan dengan kehidupan sehari-hari yang tampak mendesak. Kita mungkin bergurau ketika berdiri di depan alat pemanas makanan (microwave)dan berseru “Ayo cepat!” pada piring putarnya; tetapi kita tahu bahwa belajar menunggu adalah bagian yang penting dalam cara kita hidup di dunia sebagai orang dewasa yang dapat mengendalikan berbagai dorongan dan tuntutan. Kita menggunakan sebagian hidup kita setiap hari untuk menunggu – seperti para pelari yang berada di posisi “start” – dalam hal-hal kecil seperti menunggu putaran piring microwave atau menunggu lampu hijau menyala; dan kita hampir tidak menata perasaan mendesak kita yang dipacu adrenalin dalam menyikapi penantian-penantian menjengkelkan yang menyusupi jadwal dan rencana-rencana kita itu.

Potongan hidup kita yang menyeluruh diberikan kepada berbagaipenantian yang lebih penting: perubahan situasi-situasi kita, panggilan telepon yang menyampaikan hasil tes, atau berita-berita dari jauh. Menanti mengajarkan pada kita bahwa kita tidak sedang memegang kendali, dan respons kita terhadap suatu penantian yang menantang akan menyingkapkan beberapa kebenaran yang sukar tentang diri kita yang sebenarnya. Menunggu dimaksudkan untuk membentuk karakter kita dan menguji kesabaran kita.

Sebagaimana yang saya temukan di samping tempat tidur ibu saya, menunggu dapat menjadi jembatan antara kehidupan yang dibatasi-waktu dengan kekekalan. Saya melihat hal ini digambarkan dengan sangat jelas dalam tulisan seorang siswa yang saya bimbing beberapa tahun lalu. Salah satu tugasnya adalah menceritakan kembali Perumpamaan tentang Anak yang Hilang, yang terdapat di Lukas 15:11-32, dari sudut pandang seorang ayah. Pelajar itu menjelaskan rutinitas sang ayah selama si anak bungsu menghilang: “Setiap hari aku pergi ke ujung jalan masuk, memandangi cakrawala, dan menantikan anakku pulang.”

Gambaran tentang seorang ayah yang tahu persis seberapa jauh ia dapat pergi mengejar anak yang dikasihinya itu lebih dari sekadar abstraksi teologis dalam tugas menulis di sekolah menengah. Seperti banyak orangtua pada generasi saya, saya juga sudah berdiri di ujung jalan masuk peribahasa itu untuk waktu yang lama, menantikan anak saya sendiri yang hilang agar ia kembali pulang.

Pada awalnya, penantian saya yang dibanjiri doa itu dengan tidak sabar berfokus pada akhir “bahagia selamanya” segera dalam kisah anak dewasa muda saya yang terhilang. Saya berpaut pada momen yang memicu anak bungsu itu untuk bertindak dalam perumpamaan itu – momen ketika ia menyadari bahwa babi-babi yang ia beri makan bahkan memiliki kehidupan yang lebih baik daripada dirinya: “Lalu ia menyadari keadaannya, katanya: Betapa banyaknya orang upahan bapaku yang berlimpah-limpah makanannya, tetapi aku di sini mati kelaparan” (Lukas 15:17).
Saya merindukan momen kesadaran itu segera terjadi pada anak yang saya kasihi. Tetapi ketika saya berdiri di ujung jalanmasuk selama berbulan-bulan, lalu bertahun-tahun, saya mulai menyadari bahwa saya mungkin tidak akan hidup cukup lama lagi untuk melihat apakah dan kapan anak saya yang hilang itu sampai kepada momen kesadarannya dan memilih untuk pulang ke rumah. Ketidaksabaran saya yang meningkat agar penantian itu segera berakhir berkaitan dengan hati saya yang hancur sebagai seorang ibu dan juga keberadaan saya sendiri yang dibatasi-waktu sebagai seorang manusia.

Pengalaman merasakan kekekalan surga yang begitu dekat ke bumi pada saat-saat terakhir kehidupan ibu saya telah membuat saya mengerti lebih jelas bahwa saya tidak berdiri di ujung jalan masuk itu sendirian. Yesus ada di sana, menunggu bersama saya, menunggu anak saya kembali kepada-Nya. Hanya Dia yang dapat melihat melampaui cakrawala.

Menanti bersama-Nya berarti menyerahkan waktu dan kalender saya kepada-Nya, yang artinya, semua harapan saya tentang kelanjutan kisah anak saya pada waktunya. Dia adalah Alfa dan Omega, Yang Awal dan Yang Akhir (Wahyu 22:13) – yang mengejutkan para pendengar-Nya dengan menyebut nama yang tak terkatakan yang merujuk pada diri-Nya sendiri sebagai “Aku” yang kekal (Yohanes 8:58) – Dia yang dapat mengejar anak yang hilang sampai ke ujung bumi dengan cara yang tak pernah dapat saya lakukan (Lukas 15:3-7). Dan Dia juga yang berdiri di ujung jalan masuk bersama saya, menanti dan mengamati.

Lebih dari satu abad yang lalu, seorang pakar yang bernama Arthur Walwyn Evans menuliskan definisi tentang penantian yang jauh melampaui ketidaksabaranmenunggu putaran piring microwave: “Kata ‘menanti’ [menunjukkan] sikap jiwa yang condong kepada Tuhan. Menunggu menunjukkan telinga yang mendengarkan, hati yang meresponi suara Tuhan, pemusatan indera-indera rohani kepada perkara-perkara surgawi, kesabaran iman…. harapan dan kerinduan yang sangat kuat untuk mengungkapkan kebenaran dan kasih sebagaimana yang tampak pada Bapa.”

Kerinduan akan kasih ayahnya yang sempurna itulah yang menggerakkan anak yang hilang itu untuk pulang ke rumah. Dan kerinduan itu pada hakikatnya berkaitan dengan jenis penantian saat ini yang secara bersamaan menghubungkan kita dengan kekekalan. Tidak perlu penyakit mematikan atau kesedihan atas anak yang hilang untuk membuat hati kita meresponi suara Tuhan. Kita dapat memulai dengan kesediaan untuk mengenali bahwa Dia bekerja dalam penantian yang kita alami sebagai manusia yang dibatasi-waktu, dan menunjukkan pada kita “betapa lebarnya dan panjangnya dan tingginya dan dalamnya kasih Kristus,dan dapat mengenal kasih itu, sekalipun ia melampaui segala pengetahuan – supaya kita dipenuhi dalam seluruh kepenuhan Allah” (Efesus 3:18-19). Kasih ini tak terselami. Kasih ini berdaya jangkau kekal.

Sebuah cara sederhana yang dapat kita pelajari sebagai komunitas gereja untuk mengalami kekekalan dalam penantian kita terbentang di akhir tahun ini. Adven memberi kesempatan kepada setiap kita secara pribadi maupun bersama-sama untuk belajar menantikan Tuhan. Bagi kita yang menyukai resolusi-resolusi cepat dalam berbagai persoalan, Adven adalah satu masa dalam tahun kalender gereja sejarah yang berfokus pada disiplin dan ketidaknyamanan dalam belajar menunggu.

Adven bukan saja menghubungkan kita dengan kerinduan kepada Juru Selamat kita, tetapi juga mengarahkan kita pada realitas waktu dan tempat terwujudnya Inkarnasi. Simeon yang lanjut usia, yang menyambut Maria dan Yusuf ketika mereka membawa Yesus yang berusia delapan hari ke bait suci untuk dipersembahkan, digambarkan sebagai orang yang sudah menantikan “penghiburan bagi Israel” seumur hidupnya (Lukas 2:25). Kerinduan tunggal itu, yang dimurnikan lewat waktu, membuat Simeon melihat dengan jelas apa yang sudah diabaikan banyak orang di sekitarnya: Mesias yang sudah lama dinanti-nantikan, yang seharusnya diperhatikan umat-Nya, sedang berada di tengah-tengah mereka, terbuai dalam dekapan ibu-Nya. Simeon dapat melihat kekekalan dengan jelas dari perspektif ujung jalan masuknya sendiri di bait suci itu.

Dan kalau-kalau kita tidak menganggap Adven sebagai saat untuk mengenang penantian-penantian nenek moyang rohani kita di masa lalu tentang bayi Maria, kita yang hidup pada masa kini diundang selama masa Adven untuk merenungkan kerinduan kita sendiri akan kedatangan Yesus kembali. Saya sudah menemukan bahwa menyisihkan sedikit waktu untuk merenungkan sebagian atau seluruh kitab Wahyu – bukan untuk mencobamenjelaskan kemungkinan ketepatan waktu profetiknya tetapi hanya membaca dan merenungkan tentang Yang kekal yang akan segera datang kembali – sangat menolong. Membaca kitab Wahyu pada bulan Desember mungkin tampaknya agak tidak cocok di bulan yang tampaknya berfokus pada saat ini dan di sini, tetapi dari bacaan itu kita dapat mendengar undangan untuk menanti dan mengamati dengan kesiapan di ujung jalanmasuk akan kedatangan Raja kita yang akan datang kembali.

Setiap penantian dapat menyingkapkan pada kita bahwa kekekalan bersinggungan dengan pengalaman hidup kita ketika kita menemukan bahwa kita tidak menanti sendirian. Juru Selamat kita yang kekal ada di sana, menanti bersama kita – menanti untuk kita.