Mencari Yang Lebih Hina Lagi

(Joseph E. Miller)
Bagi Don dan Jenya Foster, melakukan misi berarti membela “yang paling hina” dengan penuh semangat.

Don Foster tidak pernah melupakan pemuda-pemuda yang telah ia bantu menemukan kesuksesan yang “mustahil” dicapai di Mozambik sepuluh tahun yang lalu. Ketika melayani anak-anak yatim piatu di sana, Foster dan rekan-rekan misionaris menempatkan seorang pemuda di sekolah hukum dan menolong pemuda lainnya menjadi dokter – skenario-skenario yang luar biasa mengingat situasi-situasi yang harus dihadapi orang-orang itu. Foster sudah melihat kemenangan ini sebelumnya dan ia sadar bahwa meninggalkan bisnis yang berkembang di Amerika Serikat demi ladang misi adalah keputusan terbaik yang dapat ia lakukan.

Namun, terlepas dari pencapaian ini, Foster masih dihantui oleh perkataan seorang rekan misionaris: “Hanya ada satu pedoman dalam pelayanan: cari yang lebih rendah lagi.” Tuhan mulai berbicara kepada Foster tentang masa depannya, dengan terus-menerus memberinya kesan tentang Matius 25:40: “Dan Raja itu akan menjawab mereka: Aku berkata kepadamu, sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku.” Dengan perkataan ini, ia lalu pergi untuk mencari yang paling hina dari yang hina dan menemukan mereka di antara suku Mbuti Pigmi di Republik Demokratik Kongo – yang menurut beberapa statistik merupakan tempat termiskin di dunia.

Kesan Foster bahwa Mbuti adalah “yang paling hina” sulit ditentang jika Anda mengetahui faktanya. Dua penelitian terpisah menemukan bahwa usia harapan hidup mereka hanya antara 18-24 tahun. Orang Mbuti yang hidup berpindah-pindah menempati desa-desa yang sederhana, dan kepunyaan mereka seringkali hanyalah pakaian yang melekat di tubuh mereka. Orang Pigmi tidak memiliki kesempatan untuk mengenyam pendidikan dan mendapat pekerjaan seperti orang-orang Kongo lainnya. IQ mereka rata-rata 54 – yang dianggap amat sangat rendah – dan membuat sulit bagi mereka untuk mempelajari hal-hal baru. Dan karena perawakan mereka yang pendek – tidak sampai satu meter – mereka sering dianggap keliru oleh orang lain sebagai manusia yang kurang berevolusi atau manusia primitif, yang membuat mereka terus-menerus diperlakukan tidak baik. Kepala salah satu desa yang dilayani Don dan istri menyimpulkan penderitaan mereka sbb: “Kehidupan orang Mbuti Pigmi sangat sulit – dan sangat singkat.”

Selain tantangan-tantangan ini, Foster juga prihatin dengan masa depan orang Mbuti. Pengembangan masyarakat mungkin meningkatkan kualitas hidup banyak orang Kongo, tetapi bukan untuk orang Pigmi. Sebagai pemburu dan pemulung selama ribuan tahun, mereka hidup dari apa yang ada di Hutan Itori, yang dari tahun ke tahun semakin menipis karena para penebang kayu memakai umpan yang lebih besar untuk berburu. Orang Mbuti terpaksa memakan katak, tikus dan ikan-ikan kecil – yang semuanya hanya mengandung protein yang lebih sedikit. Dan saat hutan di sekeliling mereka hilang, tempat berlindung mereka pun ikut hilang.

Orang Mbuti juga menghadapi bahaya-bahaya sosial dari luar dan dalam. Penyalahgunaan zat, terutama alkohol, sudah menjadi masalah serius. Dan orang-orang militan sudah membuat hutan menjadi tidak stabil. Sejak bulan Oktober 2014, lebih dari 500 orang di daerah itu terbunuh. Musim gugur yang lalu, sebuah serangan ke Beni, kota tempat Foster tinggal, menewaskan 11 orang.

Karena budaya mereka hanya berbahasa lisan, orang Mbuti hanya bisa menerima Firman Tuhan dengan satu cara saja – lewat pendengaran. Melalui kerja sama dengan In Touch Ministriesdan Renew Outreach, Foster dapat memakai perangkat Messenger (alat untuk mendengarkan Alkitab audio) untuk menyampaikan Injil kepada mereka. Dengan 6.000 orang Pigmi yang tersebar di 106 desa di wilayah mereka saja, Foster tentu sangat kesulitan untuk menjangkau mereka.Namun dengan bantuan beberapa ratus perangkatMessenger, perbedaan besar akan terjadi. Dan Foster meyakini hal itu.

“Alat-alat ini akan menjangkau orang-orang yang tidak pernah Anda kenal di kaki langit ini,” katanya. “Tetapi suatu hari mereka bisa saja tiba-tiba muncul dan berkata, ‘Terima kasih. Saya sudah mendengar Injil Yesus Kristus karena sebuahMessenger.’”

Meskipun ada banyak rintangan berat yang dihadapi orang Mbuti, Foster memiliki harapan akan masa depan – khususnya generasi penerus. Nama Foster tampaknya memang menunjukkan realitas yang lebih dalam: Pasangan itu secara de facto telah menjadi orangtua asuh (foster parent) bagi puluhan anak-anak Mbuti yang tidak dirawat oleh orangtua kandung mereka. Don dan Jenya memberi mereka makanan dan tempat tinggal sembari juga memberikan pendidikan yang tak pernah diterima oleh generasi sebelumnya.

Keluarga Foster tidak berencana pergi ke mana pun – kecuali, tentu saja, ke Kongo tengah yang lebih jauh untuk menjangkau sekitar 10.000 orang Mbuti di wilayah itu. “Selama saya hidup, saya rasa saya tidak akan menemukan orang yang lebih miskin atau lebih membutuhkan pelayanan daripada orang Pigmi Mbuti,” kata Foster. Baginya dan Jenya, setiap waktu adalah jam 11. Karena orang-orang Pigmi memiliki usia harapan hidup yang sangat singkat, belum lagi dengan segala bahaya yang mengelilingi mereka, kebutuhan mereka menjadi makin sangat mendesak – dan tidak ada yang lebih mendesak daripada mendengar dan menerima Injil Yesus Kristus.