Mengapa Kita Semua Memerlukan“Kewarasan”

(Daniel Darling)
Zat adiktif paling keras berasal dari dalam diri kita sendiri.

“Bapak begitu dingin,” seorang rekan kerja berkata kepada atasan saya suatu hari. Pernyataan yang meremehkan. Dalam pekerjaannya yang sarat tekanan, orang ini selalu tampak menjadi orang yang menyelesaikan konflik atau meredakan ketegangan. Setelah bergaul dengannya selama beberapa tahun, saya semakin menghargai kemampuannya dalam membawa damai di saat situasi-situasi sulit.

Jenis kedewasaan yang tenang ini jarang dianjurkan di buku-buku kepemimpinan masa kini. Ciri-ciri sepertiberambisi, ekstrovert dan tangguh lebih dianggap paling hebat dan diinginkan. Dalam kepemimpinan masyarakat umum, ketenangan dianggap kelemahan, apalagi jika dibandingkan dengan selebriti-selebriti masa kini yang tampaknya maju dengan menunjukkan kekasaran, kemarahan dan kerakusan secara terbuka. Bahkan model-model kepemimpinan gereja tampaknya lebih menghargai karisma dan kualitas bintang daripada karunia-karunia pastoral yang lebih tidak menonjol  yang digambarkan dalam Alkitab.

Paulus, dalam semua tulisannya kepada gereja, tampaknya selalu memasukkan ciri sederhana ini dalam persyaratan pemimpin rohani. Kepada Titus, ia mendorong “penguasaan diri” dan “kebijaksanaan” (Titus 1:8). Kepada Timotius, ia menulis tentang “martabat yang terhormat” dan “bukan pemabuk” (1 Timotius 3:8-10). Kepada penatua jemaat di Efesus, Paulus menganjurkan semacam penilaian-diri yang bijaksana (Kisah Para Rasul 20:17-38).

Sobriety (kewarasan, siuman/tidak mabuk lagi) adalah istilah yang jarang kita gunakan, kecuali saat membicarakan penyalahgunaan zat. Kata ini langsung memunculkan bayangan tentang pusat-pusat rehabilitasi dan Program 12 Langkah, tentang para selebriti yang berkacamata hitam untuk menghindari silaunya lampu kamera televisi. Tetapi sobriety(ketenangan, kebijaksanaan) adalah karakteristik rohani yang jauh lebih kuat daritekad untuk menjauhi zat adiktif. Sebuah ciri orang Kristen yang unik—kehadiran yang tenang namun tegas, kemampuan untuk percaya Tuhan dengan cukup untuk menahan emosi dan menanggung situasi sulit dengan kasih karunia. Dan kualitas ini tidak hanya diperlukan oleh para pendeta, penatua dan pemimpin gereja. Karunia ini juga diperlukan di dalam keluarga-keluarga dan di tempat-tempat kerja. Ken Sande, penulis bukuThe Peacemaker, menyatakan, “Jika menyatakan kekayaan kasih Tuhan dan menyenangkan Dia lebih penting dari berpegang pada hal-hal duniawi dan menyenangkan diri sendiri, maka menyikapi konflik dengan anggun, bijaksana dan pengendalian diri makin menjadi hal yang wajar.”

Lalu mengapa kita kurang menghargai sifat lembut ini, yang dikaruniakan sebagai bukti pekerjaan Roh Kudus yang menguduskan? Mengapa berpikiran jernih, dan bukan reaktif, dianggap sebagai kelemahan? Mungkin saja karena pengendalian diri yang bijaksana ini memerlukan kebergantungan yang luar biasa kepada Kristus sebagai Tuhan. Jika Dia adalah Tuhan, kita dapat melepaskan keinginan kuat dalam diri kita untuk menang, untuk menegaskan, untuk didengar. Orang Kristen yang bijaksanatidak begitu peduli pada soal mencetak keberhasilan-keberhasilan pribadi, dan lebih mementingkan kesejahteraan orang-orang yang berinteraksi dengan mereka.

Yang menarik, sebagian besar nasihat Paulus tentang sobrietydisampaikan dalam konteks yang berkaitan dengan kelakuan buruk. “Janganlah kamu mabuk oleh anggur,” ia memperingatkan jemaat di Efesus, “tetapi hendaklah kamu penuh dengan Roh” (Efesus 5:18). Seperti keinginan yang kuat namun rapuh di hati yang akan dibimbing, dipenuhi atau dikuasai oleh sesuatu. Alkitab menyatakan bahwa cengkeraman klasik minuman keras atau kemarahan atau kesombongan itu bagaikan penjara bagi jiwa. Tetapi kebajikan-kebajikan rohani klasik, yang ditumbuhkan Roh Kudus di dalam kita dan dipelihara melalui disiplin-disiplin rohani, membebaskan kita dari kecenderungan-kecenderungan yang merusak diri kita sendiri.

Bisa jadi inilah cara terbaik kita untuk menunjukkan kasih kita kepada Kristus di dunia. Rata-rata karyawan mungkin tidak punya banyak kesempatan untuk melakukan percakapan rohani setiap minggu, tetapi ia bisa dihadapkan dengan berbagai situasi yang membuatnya dapat menunjukkan Kristus melalui sikap pengendalian diri dan kelemahlembutan.