Orang Yang Cedera

(Michael Morgan)

Kita tidak akan mengalami pemulihan emosional jika kita tidak merawat kesakitan kita dengan sepatutnya.

Saya punya teman yang mengunjungi biara di Kentucky barat tengah belum lama ini untuk melakukan retret sehari bersama dua orang teman. Retret adalah kata yang tepat: terletak di Trappist, wilayah terdekat New Haven, Getsemani merupakan tempat yang jauh dari hiruk-pikuk dan penuh ketenangan dengan dikelilingi pepohonan. Letaknya juga di tengah gelombang panas, sehingga teman saya, yang selalu siap bertualang, mengajak sekelompok kecil teman untuk berenang sore-sore di salah satu danau pedesaan itu. Celakanya, ketika ia hendak menaiki balok yang setengah terapung di permukaan air, pahanya tertusuk patahan ranting yang ada di bawah permukaan air. Beruntung tusukannya tidak sampai ke pembuluh darah. Namun karena pendarahannya cukup hebat, ia memanggil teman-temannya untuk menolongnya. Ia membutuhkan dokter, segera. Setelah mengikatnya dengan kaos oblong putih sebagai usaha menghentikan pendarahan untuk sementara, mereka memapahnya ke dalam mobil dan membawanya ke rumah sakit terdekat – yang sebenarnya cukup jauh dari tempat terpencil itu. Di rumah sakit itu, setelah berjam-jam menunggu dan dilakukan berbagai pemeriksaan untuk memastikan bahwa itu bukan akibat tembakan, petugas lalu menjahit lukanya dan memperbolehkannya pulang. Tampaknya semua baik-baik saja. Tetapi ternyata tidak. Menjahit luka tusukan yang dalam yang baru saja terendam di air danau benar-benar merupakan cara yang buruk untuk mendapat kesembuhan. Tiga hari kemudian, setelah kembali ke Louisville, ia harus dirawat di rumah sakit karena infeksi yang parah.

Dari semua ini—selain melihat ke belakang tentang betapa tragisnya kisah yang berbalik dan sering menggelikan ini – saya sangat heran dengan kemajuan ilmu kedokteran modern yang menyimpulkan bahwa hal terbaik yang harus dilakukan pada lubang luka di kaki adalah dengan tidak dilakukan apa-apa. Jika mengalami luka tusukan, kita biasanya menjaga agar area luka itu tetap bersih dan tertutup, padahal seharusnya dibiarkan saja.

Tubuh kita rapuh namun juga tangguh. Dengan dibiarkan saja, tubuh kita kemungkinan akan sembuh sendiri. Tetapi saya jadi berpikir tentang jenis luka-luka lainnya – terutama luka hati atau kesedihan. Apakah luka hati kita juga bisa sembuh dengan sendirinya?

Saya secara umum percaya bahwa semua luka hati adalah luka tusukan. Bukan sekadar tusukan rasa tidak nyaman yang dangkal – seperti rasa malu di depan umum, rasa tidak enak yang mengganggu dan sejenisnya—tetapi luka-luka yang memang nyata: pengkhianatan, pengabaian, penolakan. Meskipun luka-luka yang pertama juga menyakitkan, tetapi rasa sakitnya cepat hilang tanpa efek jangka panjang. Tetapi luka-luka yang kedua bisa mengubah hidup Anda.

Satu hal yang saya dapati makin berharga tentang iman kita adalah ruang tempat Tuhan menusuk hati orang dengan firman-Nya. Kita menyebut Yesus sebagai The Man of Sorrows, Orang Yang Penuh Kesengsaraan, yang tidak asing dengan kesedihan, dan Kitab Suci membuktikan hal ini. Bahkan ada satu kitab dalam Alkitab yang seluruhnya berisi tentang kesedihan, yang diberi nama kitab “Ratapan.” Kitab Mazmur penuh dengan ayat-ayat ketika Daud dan pemazmur lainnya benar-benar mencurahkan isi hatinya di hadapan Tuhan, yang seringkali sampai tingkat yang meresahkan (Baca Mazmur 139:1-13). Dan Tuhan tidak hanya mendengar seperti orangtua yang membiarkan anaknya menangis sendirian sampai tahu-tahu sudah tertidur. Tuhan memiliki rencana untuk kesedihan dan dukacita kita. Dalam Kotbah di Bukit tentang Ucapan Bahagia, Yesus mengajarkan hal yang sama sekali baru tentang cara hidup di dunia. Dengan berkata, “Berbahagialah orang yang berdukacita, karena mereka akan dihiburkan,“ Yesus menyertakan janji dalam dukacita kita. Bersama Yesus, ada cara untuk berduka yang mengubah penderitaan menjadi jalan kepada berkat Tuhan. Seperti lubang luka di kaki, cara kita memperlakukan luka itu yang menentukan.

Tubuh kita menunjukkan sesuatu yang hakiki tentang menjadi gambar Kristus. Kecenderungan bawaan kita untuk kesembuhan fisik – pembaruan – membuktikan kebenaran yang mendalam bahwa Pencipta kita menciptakan kita untuk sehat dan utuh. Setelah kejatuhan, kita memang menjadi target kematian dan penyakit. Tetapi tubuh jasmani kita memberi kesaksian tentang fakta primordial bahwa Tuhan merancang kita untuk bertumbuh. Tuhanlah yang memberi kita hemoglobin yang secara alami akan melambatkan dan menghentikan pendarahan setiap kali kulit kita tertusuk. Tuhan merancang proses yang rumit melalui sinyal-sinyal yang memicu sel-sel untuk membentuk kolagen, jaringan granulasi dan akhirnya pembuluh-pembuluh darah, otot dan kulit yang baru. Bahkan tulang-tulang kita mengalami pembaruan. Dalam sebagian besar kasus, semua ini terjadi secara otomatis. Kita tidak perlu memikirkan tentang proses ini atau apakah hal itu akan terjadi; atau bagaimana para dokter dengan mikroskop dan pinset-pinset kecilnya menyusun setiap sel baru itu satu demi satu. Tubuh akan menyembuhkan, tetapi hati kita justru sebaliknya; namun jika kita memahami dasarnya, hal ini juga akan menunjukkan sesuatu yang hakiki tentang cara Tuhan membentuk kita.

Hati kita juga membawa ciri-ciri kejatuhan. Jika tubuh kita menjadi target kematian, hati kita menjadi cenderung menyimpang. Rentan terhadap kebohongan-kebohongan seperti “Tak seorang pun tahu apa yang terbaik bagiku selain diriku sendiri” dan “Aku bisa cukup kuat dengan diriku sendiri” dan “Situasinya sangat kritis, aku sendirian dalam hal ini.” Dan kemudian kita menjadi terluka.

Rasa sakit memiliki cara mengeluarkan kebohongan-kebohongan hati kita yang terburuk. Hati yang mengerahkan segala dayanya untuk menjadi “cukup kuat” seringkali tidak cukup tahu apa yang harus dilakukan dengan luka. Luka benar-benar tidak cocok dengan jenis narasi yang dihargai oleh ego kita. Hati kita disetel untuk mengaburkan rasa sakit, karena hal itu rasanya seperti pemulihan, padahal ketika kita menutupi luka itu, kita mungkin mengatasinya tetapi tidak berdukacita.

Alasan menjahit luka tusukan merupakan hal yang buruk adalah karena jahitan itu dapat mengganggu kemampuan tubuh menerima oksigen, yang sangat diperlukan untuk penyembuhan. Yang tidak memerlukan oksigen adalah bakteri-bakteri—yang berkembang dalam lingkungan tanpa udara. Bagi mereka, lubang yang gelap tanpa oksigen di luka kaki itu adalah surga. Itulah sebabnya teman saya harus dirawat di rumah sakit karena bisul yang bernanah.

Di dalam tubuh maupun hati, tidak ada kebaikan yang dapat dihasilkan dari luka yang diperlakukan dengan buruk. Dan di sinilah tempat hati kita menyimpang dari kehebatan tubuh kita ketika terluka. Sakit hati – luka-luka jiwa – tidak hilang begitu saja. Dan ketika kita memilih untuk hanya mengatasinya dan tidak berduka, entah melalui pelampiasan stres dengan makan atau membangun tembok emosional, cara kita menghindari hal-hal yang nyata itu akan sama seperti jahitan pada luka tusukan. Luka itu kelihatan tertutup, tetapi kita sebenarnya sudah menciptakan keadaan yang memperburuk kegelapan. Penghindaran tidak pernah mengantar kepada pemulihan atau penghiburan yang sesungguhnya, betapa pun kita sangat ingin percaya bahwa “waktu akan menyembuhkan segala luka.” Dengan membiarkan luka kita tetap terbuka sampai menjadi sembuh, kita dapat berduka dan memegang perkataan dan janji Yesus – bahwa orang yang berdukacita akan diberkati dan berbahagia.

Berduka secara terbuka ini merupakan sebuah proses—langkah pertamanya adalah mengakui bahwa Anda terluka dan, yang lebih sulit, mengakui cara-cara Anda mengatasinya. Mengenali mekanisme ini bisa sangat sulit karena mekanisme ini mampu menutupi rasa sakit.

Mengenai diri saya, saya adalah seorang pembangun tembok. Saya menyikapi luka masa lalu dengan menutup diri dari orang lain, dan juga membatasi orang lain yang masuk. Dan saya merasa cukup baik menjaga benteng saya. Tetapi akhirnya saya mendapati bahwa semua kebiasaan baru yang saya sempurnakan untuk merasa “oke” ternyata tidak membawa kebaikan apa pun pada luka itu, tetapi malah menjadi penghambat di masa kesulitan yang baru. Pada titik ini, beberapa orang yang terjebak dalam perimeter saya menjadi kelelahan. Bersyukur, ketika saya berada di puncak keputusasaan, saya mendapati Tuhan dalam kemurahan-Nya sudah menyediakan orang lain untuk menolong.

Cara menjaga luka hati tetap terbuka adalah dengan menceritakannya: kepada sahabat, pendeta, atau konselor. Orang lain bukan saja merupakan anugerah di jalan pemulihan, tetapi juga sangat diperlukan – setidaknya karena mereka dapat berada di sana untuk berduka bersama kita.

Di satu sisi, kesendirian dapat meningkatkan rasa sakit. Dan dengan sendirian, kita juga bisa benar-benar sulit untuk melihat diri sendiri dengan perspektif lain. Sahabat yang baik dapat melakukan dua hal: pertama, menunjukkan bahwa luka kita itu nyata, dan kedua, membantu kita mencari cara yang jauh dari  mengasihani-diri dan menyangkal-diri yang tidak berdasar. Orang lain itulah yang dapat melihat mekanisme kita yang sebenarnya dan mendorong kita untuk memilih berdukacita. Jika cara penyembuhan tubuh kita menunjukkan bahwa kita diciptakan untuk sehat, cara pemulihan hati kita mengingatkan kita bahwa kita diciptakan untuk berkomunitas. Untuk dikenal dan dikasihi dalam keterlukaan kita. Untuk tidak membangun tembok, atau setidaknya untuk menyerahkan kunci jembatan gantung kepada beberapa saudara dan saudari yang dapat dipercaya.

Sebagaimana membuka diri kepada sahabat dan orang terkasih itu penting dan memberi-hidup, iman kita juga mengundang kita untuk terbuka kepada Tuhan. Luka-luka kita bukanlah untuk disembunyikan. Meski selalu ada risiko orang lain bisa mengecewakan ketika kita menceritakan luka kita pada mereka, penting untuk diingat bahwa luka itu bukanlah dosa. Luka pada dasarnya juga bukan hal yang memalukan.

Sebaliknya, jauh dari sebagai tanda kegagalan, rasa sakit yang kita alami dalam diri kita sebenarnya adalah tanda pengharapan. Kesedihan yang mendalam pada akhirnya adalah ungkapan hati kita yang mengatakan pada kita betapa kita sangat merindukan Bapa kita dan rindu berada di hadirat-Nya – tempat luka=luka disembuhkan untuk kebaikan. Dengan demikian, luka menjadi semacam kompas. Jadi, alih-alih mengabaikannya, kita harus mengikutinya dan membiarkan dukacita itu menuntun kita pulang.