Pelajaran Dari Getsemani

(Charles F. Stanley)

Kita dapat mengandalkan Tuhan dalam penderitaan kita, karena kita tahu Dia akan mendatangkan kebaikan dari penderitaan itu dan memampukan kita untuk menanggungnya.

Hidup yang kita inginkan dan hidup pada kenyataannya adalah dua hal yang berbeda. Hati kita inginnya segala sesuatu berjalan lancar dan menyenangkan. Dan memang terkadang kita bisa mengalami saat-saat atau masa-masa seperti ini. Tetapi pada akhirnya kita juga akan menghadapi situasi-situasi yang menyebabkan penderitaan, keputusasaan dan kesukaran. Penderitaan dalam hidup kita tak dapat dihindari, tetapi respons kita adalah pilihan.

Ke mana Anda berpaling pada saat-saat seperti ini? Ada banyak pilihan, tetapi saya mendapati satu-satunya tempat berpaling yang dapat diandalkan adalah firman Tuhan. Alkitab – buku pedoman kehidupan – menunjukkan bagaimana kita harus merespons dalam setiap situasi. Inilah satu-satunya Sumber yang sangat cukup untuk kebutuhan apa pun yang kita hadapi. Di antara semua tokoh dalam Alkitab, hanya ada satu yang tidak pernah berbuat dosa: Yesus selalu bertindak seturut kehendak Bapa, bahkan ketika akibatnya adalah penderitaan hebat. Dengan mengamati bagaimana Juru Selamat kita menghadapi penderitaan, kita akan memiliki pemahaman yang lebih baik tentang bagaimana harus merespons.

Alasan Penderitaan

Salah satu pelajaran penting yang bisa kita petik dari perjalanan Yesus ke salib berkaitan dengan alasan penderitaan dan kesusahan. Dari abad ke abad manusia bergumul dengan pertanyaan ini, dan penderitaan Kristus menunjukkan pada kita mengapa penderitaan merupakan realita yang tak pernah berakhir di du nia.

Kita harus ingat bahwa semua orang menderita akibat dosa. Dosa berawal dari taman Eden ketika Adam dan Hawa tidak menaati Tuhan. Sejak saat itu bumi berada di bawah kutuk, dan semua manusia lahir dengan natur dosa. Itu sebabnya kita menghadapi sakit-penyakit, kematian, bencana alam, kecelakaan, kekerasan dan berbagai macam kesulitan. Intensitas penderitaan Kristus di salib menunjukkan betapa ganas dan dahsyatnya kejahatan dunia dan manusia. Kita cenderung memikirkan penderitaan salib hanya sebagai penderitaan fisik yang menyiksa, padahal penderitaan terbesar Yesus bukanlah secara fisik. Ketika Dia tergantung di kayu salib dan dosa seluruh manusia ditimpakan pada-Nya, Dia menanggung murka Tuhan (1 Petrus 2:24). Kita tak pernah bisa membayangkan penderitaan itu. Dosa yang ditimpakan pada Kristus begitu dahsyat sampai Bapa memalingkan wajah-Nya dari Yesus – dan untuk pertama kalinya dan sekali itu saja, Bapa dan Anak mengalami keterpisahan (Matius 27:46). Sesungguhnya, tak ada seorang pun yang pernah menderita sehebat Yesus. Tetapi itulah yang diperlukan agar manusia berdosa dapat diperdamaikan dengan Bapa.

Berkat Penderitaan

Meskipun tak ada orang yang menyukai penderitaan, Tuhan memakai penderitaan untuk mengajar kita. Ada pelajaran-pelajaran tertentu yang tak dapat kita pelajari dengan cara lain—pelajaran tentang Tuhan, diri kita sendiri dan orang lain. Penderitaan memurnikan kita. Penderitaan membuat kita memeriksa diri dan meneliti sikap-sikap, pikiran-pikiran, atau dosa-dosa yang hendak Tuhan singkirkan agar kita dapat dipakai sepenuhnya oleh Dia. Penderitaan dan kesulitan juga sangat memotivasi. Terkadang satu-satunya cara untuk Tuhan  membuat kita taat adalah melalui masalah. Seperti halnya orangtua yang mengasihi, Dia tahu bahwa disiplin dan koreksi diperlukan untuk pertumbuhan rohani kita. Penderitaan juga melucuti distraksi-distraksi yang menghalangi pertumbuhan relasi kita yang lebih intim dengan Tuhan. Ketika semua ini disingkirkan, kita bisa datang pada Bapa dengan tangan kosong dan mengalami keintiman dengan-Nya, yang tak akan pernah kita dapatkan jika kita tidak mengalami penderitaan.

Respons terhadap Penderitaan

Selama kita masih hidup di dunia ini, selalu akan ada penderitaan dan kesusahan. Seperti Yesus, kita akan mengalami malam-malam gelap di Getsemani kita, tetapi Kristus telah memberikan contoh dan teladan tentang bagaimana kita harus merespons ketika kehendak Bapa meliputi lebih banyak penderitaan dari yang kita pikir dapat kita tanggung (Matius 26:36-46).

Pada saat mengalami  penderitaan, kita mungkin sulit berdoa. Ketika ketakutan tentang apa yang akan terjadi pada-Nya melanda Yesus pada malam itu, Dia langsung berpaling kepada Bapa-Nya. Penderitaan Yesus bukan disebabkan oleh ketidakmauan-Nya memenuhi kehendak Bapa – mati di salib adalah alasan Yesus datang ke dunia. Yang paling ditakutkan Yesus adalah ketika Dia harus terpisah dari Bapa-Nya. Itu sebabnya Dia berdoa, “Jikalau sekiranya mungkin, biarlah cawan ini lalu dari pada-Ku” (Matius 26:39).

Tidak seperti pergumulan Kristus, pergumulan kita seringkali meliputi keengganan untuk menaati kehendak Tuhan, atau ketidakpastian tentang yang sedang Dia lakukan. Ketika penderitaan begitu berat, yang kita perlukan hanyalah kelepasan. Tetapi sekalipun kita terus memohon kelepasan, adakalanya Dia tetap diam dan tidak membuat perubahan. Namun, meskipun sepertinya Tuhan tidak peduli, Dia sebetulnya sedang menyatakan kasih-Nya dengan memakai penderitaan itu untuk mengajar, memurnikan, memotivasi ketaatan, dan memperdalam relasi kita dengan Dia. Dia selalu menjawab doa-doa kita, tetapi pada waktu-Nya dan dengan cara-Nya yang tepat. Sementara itu, Dia akan memberi kita penghiburan dan kekuatan, sama seperti yang Dia lakukan pada Yesus di Getsemani.

Pergumulan kita baru akan berakhir ketika kita menyerah pada Tuhan. Yesus datang pada Bapa-Nya sampai tiga kali untuk bertanya apakah ada cara lain untuk melakukan penebusan manusia; tetapi setiap kali, Dia juga mengakhiri doanya dengan perkataan ini: “Tetapi janganlah seperti yang Kukehendaki, melainkan seperti yang Engkau kehendaki” (Matius 26:39). Pada kali yang ketiga, Dia tahu bahwa jalan satu-satunya hanya itu. Dan pada saat itu juga pergumulan-Nya berakhir, dan tekad-Nya untuk melakukan kehendak Bapa-Nya makin teguh—sikap yang sudah dinubuatkan nabi Yesaya: “Tetapi Tuhan ELOHIM menolong aku; sebab itu aku tidak mendapat noda. Sebab itu aku meneguhkan hatiku seperti keteguhan gunung batu karena aku tahu, bahwa aku tidak akan mendapat malu” (Yesaya 50:7).

Saya tak bisa mengingat betapa sering saya terbangun malam-malam untuk berlutut dan berseru kepada Tuhan. Tetapi saya tahu kapan pergumulan itu berakhir – ketika saya akhirnya berkata, “Tuhan, aku menyerah. Aku mau yang Kauinginkan, bukan yang kuinginkan.” Situasi-situasi saya tidak berubah, penderitaan tetap ada, tetapi ketundukan pada Tuhan memberi saya kekuatan dan kemantapan untuk tetap tinggal dalam situasi apa pun yang Dia izinkan.

Kita tidak bisa terhindar dari penderitaan dan kesulitan, tetapi kita dapat memilih cara menyikapinya. Jika kita menjadi marah dan pahit, menyalahkan orang lain, berusaha memanipulasi situasi dalam mencari solusi, atau menolak Tuhan, penderitaan kita akan menjadi sia-sia. Tuhan mau kita percaya pada-Nya di tengah segala kesusahan kita. Ketika kita menyerah pada kehendak-Nya, kita tahu bahwa Dia sedang memakai penderitaan kita untuk mencapai tujuan yang lebih besar dalam hidup kita. Dia akan memberi kita kasih karunia untuk menanggungnya dan membuat kita bertumbuh menjadi makin seperti Kristus.