Penyembahan Yang Tidak Nyaman

Alasan kita tidak pergi ke gereja – bahkan saat kita tidak ingin melakukannya.

Oleh: Christie Purifoy

Anak-anak menyuarakan banyak pertanyaan yang banyak orangtua merasa tidak perlu dijawab. Mereka bertanya mengapa langit berwarna biru, dan mereka bertanya mengapa mereka tidak dapat melihat Tuhan. Mereka bertanya mengapa mereka tidak dapat memakai celana dengan robekan di lutut ke sekolah atau gereja, dan mereka bertanya mengapa mereka perlu pergi ke sekolah dan ke gereja. Saya memiliki jawaban untuk setiap pertanyaan ini – jawaban yang tidak lengkap, tentu saja.  Namun mungkin jawaban singkat saya kurang efektif daripada yang saya bayangkan. Tentunya pertanyaan mengapa kita pergi ke gereja muncul kembali setiap minggunya. Pertanyaan ini bahkan mulai bergema, dengan sendirinya, di dalam pikiran saya sendiri.

Saya mungkin tidak mendengar pertanyaan ini di pagi Paskah yang mulia, namun pertanyaan ini mulai berbisik di hari Minggu kelabu saat saya bangun tidur dengan sakit kepala. Saya langsung menanyakannya di minggu pertama musim semi yang hangat dimana yang saya ingin lakukan hanyalah merawat taman saya. Dan saya menyuarakannya, meski mungkin secara retoris, setiap kali saya berjuang untuk menyakinkan anak saya yang berusia 4 tahun bahwa piyama Mini Tikus bukanlah pakaian yang pantas untuk dipakai ke Sekolah Minggu.

Entah bagaimana, saya telah menyerap gagasan bahwa Tuhan telah memberikan segalanya di atas kayu salib, dan kehidupan seorang Kristen yang baik dan pergi ke gereja adalah sedikitnya yang saya dapat lakukan sebagai balasannya.

Saya dibesarkan di dalam keluarga yang selalu pergi ke gereja. Rutinitas kami mencakup jadwal Minggu pagi yang tradisional yaitu ada satu jam pendidikan, diikuti oleh satu kebaktian yang saya dan kakak saya sebut sebagai “gereja besar.” Jarang sekali ada hari Minggu tanpa kami memohon kepada orangtua kami untuk melewatkan “gereja besar” dan membawa kami ke toko donut. Orangtua saya menyukai gereja kami, tapi mereka pun menyukai donut. Komik dan donut berisi coklat krim masih berkata “Minggu pagi yang bahagia” kepada saya.

Kita dapat memiliki percakapan yang baik dan diperlukan mengenai relevansi kebaktian-kebaktian gereja kita. Kita bahkan mungkin menyediakan donut saat jam istirahat sambil minum kopi. Namun saya pikir kita semua tahu bahwa gereja pastilah lebih dari sekedar bersenang-senang. Mengapa kita perlu pergi ke gereja? Saya mengatakan kepada anak-anak saya berulang kali: Kita pergi ke gereja untuk menyembah.

Ketika saya masih anak-anak, dan kemudian sebagai seorang wanita muda di gereja, saya percaya bahwa penyembahan adalah apa yang saya berikan. Penyembahan adalah lagu hymne yang saya nyanyikan dengan penuh makna dan semangat. Penyembahan adalah doa yang saya rangkai dan panjatkan dengan iman. Penyembahan adalah ketika saya mendengarkan khotbah dengan penuh perhatian. Mencatat di ruang kecil yang disediakan di buletin gereja seperti melakukan pekerjaan ekstra di sekolah. Sekalipun saya pikir tak seorang pun pernah mengatakan ini kepada saya, namun entah bagaimana, saya telah menyerap gagasan bahwa Tuhan telah memberikan segalanya di atas kayu salib, dan kehidupan seorang Kristen yang baik dan pergi ke gereja adalah sedikitnya yang saya dapat lakukan sebagai balasannya (sekalipun, di lubuk hati saya, saya tahu bahwa ini adalah hutang yang tidak akan pernah saya dapat bayar kembali). Saya mungkin telah lama terkubur di bawah beban hutang itu dan menyerah untuk datang ke gereja, seandainya saya tidak menyadari bahwa bergabung dengan gereja lokal lebih merupakan suatu hak istimewa daripada suatu tugas. Sebagai gadis muda, saya memiliki gagasan samar-samar bahwa hari Minggu saya merupakan rutinitas rohani turun-temurun dari hari Sabat pertama yang ditetapkan oleh Allah. Satu hari setiap minggunya, kita beristirahat sebagaimana Tuhan beristirahat pada hari ketujuh itu. Masalahnya adalah, bagi seorang introvert seperti saya, gereja tidak pernah terasa tenang seperti pojok toko donut yang sepi itu. Sekarang pun, sebagai ibu dari empat anak kecil, saya masih merasakan hal yang sama. Menyuruh anak-anak saya mengganti piyama mereka, terus-menerus melihat ke jam, memeriksa anak-anak di kelas Sekolah Minggu mereka yang berbeda, dan memperhatikan perilaku jemaat lain – pergi ke gereja jarang sekali terasa tenang atau seperti sedang beristirahat.

Namun ketenangan yang sejati lebih dari sekedar perasaan – lebih kaya artinya daripada keadaan rileks. Bagi bangsa Israel yang sedang mengembara, ketenangan atau peristirahatan adalah sesuatu yang dapat mereka lihat dengan mata mereka dan terasa seperti tanah kokoh di bawah kaki mereka. Istirahat adalah suatu tempat yang dipersiapkan bagi mereka oleh Allah (Ulangan 12:9). Satu generasi tidak diijinkan untuk memasuki tanah peristirahatan itu. Dan penulis kitab Ibrani memperingatkan kita bahwa kita pun dapat gagal, sama seperti nenek moyang kita di padang gurun. Bila kita “mengeraskan hati kita”, bila kita tidak taat, bila kita tidak percaya dan tidak melangkah dengan iman, kita pun mungkin tidak dapat mencapai tempat peristirahatan Tuhan (Ibrani 4:1-16). Namun apa artinya melangkah maju dan memasuki peristirahatan yang Tuhan telah janjikan kepada kita?

Sama seperti bangsa Israel kuno, kita memasukinya sebagai suatu komunitas penyembah.

Pasal Ibrani yang sama juga mengutip dari Mazmur 95 – suatu lagu Daud dimana kita mendapati janji untuk beristirahat dan peringatan terhadap hati yang keras, yang tertanam di dalam panggilan untuk menyembah: “Marilah kita bersorak-sorai untuk TUHAN, bersorak-sorak bagi gunung batu keselamatan kita. Biarlah kita menghadap wajah-Nya dengan nyanyian syukur, bersorak-sorak bagi-Nya dengan nyanyian mazmur” (Mazmur 95:1-2).

Gereja menggantikan berhala yang saya buat dari kompetensi dan produktivitas saya sendiri, dan bahkan rekreasi saya.  Gereja menginterupsi ilusi saya dalam hal memegang kendali.

Saya selalu berasumsi bahwa beristirahat adalah sesuatu yang saya capai dengan baik saat saya sendiri, namun bentuk jamak berulang dari undangan penuh sukacita ini menantang asumsi itu: Mari kita bernyanyi, mari kita bersorak, mari kita menghadap wajah-Nya.

Gambaran penyembahan ini tidaklah terpencil dan tidak membutuhkan upaya yang berat. Penyembahan ini justru nampak seperti suatu hak istimewa dibandingkan suatu kewajiban. Kita tidak memasuki hadirat Tuhan seperti seseorang yang mencentang daftar pekerjaan yang harus dilakukan. Kita datang sebagai “umat gembalaan-Nya” (Mazmur 95:7) – yaitu mereka yang dipanggil dan dikumpulkan oleh seorang gembala – sebab penyembahan selalu merupakan suatu perjumpaan.

Apakah penyembahan itu lagu kita, atau apakah itu Allah yang mendengarkan? Apakah penyembahan itu kita yang melangkah maju, atau Allah yang mendekat? Apakah penyembahan itu suara kita, atau suara-Nya? Sebagai salah satu dari komunitas penyembah, saya berjumpa dengan Tuhan, dan perjumpaan itu sifatnya transformatif. Saya berpartisipasi, namun tentunya penyembahan adalah karunia yang Ia berikan.

Tak mengherankan mengapa anak-anak saya menolaknya. Karunia dari suatu perjumpaan yang kudus bukanlah karunia yang mudah untuk diterima. Saya tidak selalu menginginkan transformasi. Atau bila saya menginginkannya, saya ingin itu dilakukan sesuai dengan cara saya. Saya menginginkannya ketika saya sedang sendiri dan tidak diganggu di taman saya. Saya menginginkannya ketika saya menyediakan waktu untuk membuka Alkitab saya dini hari pada tengah minggu. Dan sekalipun saya menerima karunia dari perjumpaan yang transformatif sifatnya dengan cara-cara yang demikian, mengambil bagian dalam pertemuan gereja Kristus pun merupakan suatu karunia yang saya turut ambil bagian secara konsisten. Tuhan telah memberikan karunia penyembahan secara berlimpah kepada mempelai-Nya. Lalu mengapa saya tidak mau hadir di tempat dengan karunia berlimpah seperti itu?

Allah tidak hanya memberikan Anak-Nya di kayu salib; Ia juga terus memberi diri-Nya kepada kita. Saya berhutang banyak kepada-Nya lebih dari yang saya tahu, namun sukacita dari perjumpaan dengan-Nya telah menggantikan rasa malu karena hutang itu.

Gereja adalah suatu ketidaknyamanan. Anak-anak saya benar mengenai hal itu. Setiap hari Minggu, hal itu memaksa saya untuk mengabaikan kesendirian saya yang nyaman. Gereja menggantikan berhala yang saya buat dari kompetensi dan produktivitas saya sendiri, dan bahkan rekreasi saya.  Gereja menginterupsi ilusi saya dalam hal memegang kendali. Di gereja, suara saya berbaur dengan suara yang lain sampai hanya satu suara saja yang terdengar. Dan suara itu bukanlah suara saya. Bukan juga suara kami, melainkan suara-Nya.