Seberapa Luar Biasanya Kasih Anda?

(John VandenOever)

Yesus melayani orang lain dengan cara-cara yang tak terpikirkan – dan Dia memanggil kita untuk melakukan hal yang sama.

Kita dapat menghabiskan seluruh hidup kita untuk diri sendiri dan tidak memberikan apa pun, tidak memikirkan apa pun, untuk kebutuhan orang lain… dan tetap sibuk sepanjang sisa hidup kita. Satu-satunya masalahnya adalah itu tidak sesuai dengan siapa diri Anda dan saya. Kita adalah anak-anak Tuhan yang hidup, dan kita harus saling mendorong, saling menanggung beban, saling menolong—apa pun yang dibutuhkan—karena kita harus menjadi orang-orang yang penuh kasih, perhatian, dan peka terhadap orang lain.

Kasih itu lebih mudah jika saya yang membuat aturannya. Jika istri saya akan menyiapkan acara makan malam, saya dengan senang hati akan mengambilkan panci besar dari gudang. Tetapi jika ia meminta saya kembali lagi ke sana untuk kedua kalinya, saya dengan cepat akan menggerutu. Atau dalam hal yang berkaitan dengan teman-teman, saya suka membantu banyak teman ketika mereka pindahan. Namun, jika pas hari itu kalender saya sudah ada tandanya, apakah saya benar-benar akan berkata “maaf, tidak bisa” karena saya ke luar kota?

Ketika saya meneliti hidup saya, saya melihat pilihan-pilihan dibuat untuk melindungi kenyamanan saya, memagari waktu pribadi saya, dan lebih banyak menunjukkan kesenangan daripada pengorbanan. Padahal Alkitab berkata bahwa kasih itu sabar dan murah hati, tidak cemburu, tidak memegahkan diri dan tidak sombong. Kasih tidak mencari keuntungan sendiri, tidak pemarah, dan tidak menyimpan kesalahan orang lain. Kasih menutupi segala sesuatu, percaya segala sesuatu, mengharapkan segala sesuatu, dan sabar menanggung segala sesuatu (1 Korintus 13:1-13).

Selain itu, Kristus memerintahkan kita untuk “saling mengasihi, sama seperti Aku telah mengasihi kamu” (Yohanes 13:34). Yesus meninggalkan kemuliaan dan merendahkan diri-Nya untuk merasakan kelaparan, kerja keras, orang tua-Nya di dunia; mengalami berbagai macam pencobaan, hinaan, siksaan, dan kematian. Dan Dia melakukan semuanya itu untuk menunjukkan kasih-Nya pada kita. Yesus telah menyerahkan nyawa-Nya untuk kita, dan karena itu kita pun “wajib menyerahkan nyawa kita untuk saudara-saudara kita” (1 Yohanes 3:16). Dia hidup untuk mengasihi, dan kita pun harus demikian juga.

Ini adalah standar-standar yang tinggi. Saya tidak boleh menceritakan detail percakapan pribadi dengan orang ketiga. Saya harus tetap percaya pada rekan kerja yang selalu mengecewakan—dan tetap berada di dekat pasangan yang duduk di depan kami di gereja, yang terus saja gelisah dan berbisik-bisik saat saya berusaha khusyuk beribadah. Ini juga berarti saya tak boleh jengkel atau frustrasi ketika istri saya mengingatkan untuk membersihkan kamar mandi aula sebelum teman-teman putri saya datang untuk berakhir pekan (hal yang baru saja saya sikapi dengan buruk). Kebanyakan dari standar- standar ini tampaknya seperti di luar jangkauan, dan saya merasa tidak mampu untuk mengikuti teladan Yesus yang sempurna.

Tetapi kita bukan tanpa harapan. Sama seperti para murid yang bersandar pada kuasa Kristus untuk mengusir setan, dan Stefanus yang memiliki keberanian dalam menghadapi kematian, dan Paulus yang mendapat kekuatan untuk menanggung duri dalam dagingnya, kita pun diberi kemampuan untuk mengasihi ketika kita hanya memandang Yesus, Pencipta dan Penyempurna iman kita (Efesus 3:20; Ibrani 12:2). Alkitab bercerita tentang seluruh jemaat yang menunjukkan kasih yang tidak biasa. Kitab Kisah Para Rasul menceritakan tentang orang-orang percaya yang “sehati dan sejiwa”—sangat murah hati dan rela berkorban sehingga “tidak ada seorang pun yang berkekurangan di antara mereka” (Kisah Para Rasul 4:32-35). Di dalam Yesus, saya dapat beralih dari kenyamanan, pencapaian, dan kesenangan diri sendiri kepada kuasa-Nya untuk mengasihi sebagaimana Dia mengasihi.

Ya, kasih ini memang tidak mudah, dan juga tidak biasa. Tetapi, pikirkanlah perbedaan yang dihasilkan ketika kita mengembangkan gaya hidup yang memberikan yang terbaik dari diri kita sendiri untuk orang lain. Ketika kita menunjukkan kasih ilahi kepada orang-orang di sekitar kita, harapannya hal itu akan mendorong orang lain untuk melakukan hal yang sama, sehingga secara bersama-sama, kasih Tuhan yang mengubahkan akan terpancar ke mana-mana.