Setiap Pagi Baru

(John VandenOever)

Mama Mercy semakin lanjut usia, tetapi kekuatan Tuhan berlimpah-limpah.

Mercy Muthumbi bergerak lebih lambat dari sebelumnya. Ia berdiri di depan kompor, memanaskan air untuk membuat teh, tetapi pikirannya ada bersama Tuhan ketika ia berdoa meminta kekuatan. Ketika ia duduk untuk sarapan, cahaya fajar masih terlalu suram untuk ia bisa membaca, jadi ia mengandalkan suara dari In Touch Messenger untuk mendapatkan siraman Firman Tuhan. Kekuatan dan daya tahan yang ia perlukan untuk melakukan pekerjaannya di Rumah Sakit Misi Kijabe Kenya hanya mungkin diperoleh dari Tuhan.

“Pergi ke rumah sakit setiap hari, bertemu orang-orang sakit, sangat berat. Benar-benar menguras banyak tenaga. Anda harus tetap selaras dengan Tuhan,” kata Muthumbi, pendeta rumah sakit yang dikenal pasien-pasiennya dengan sebutan Mama Mercy. “Saya dulu biasa ber-hallelujah setiap waktu, tetapi sekarang tubuh saya berkata pada saya, ‘Kamu tidak sedang ber-hallelujah—kamu perlu melambat.’”

Ia meninggalkan rumah pagi-pagi sekali untuk berjalan mendaki ke rumah sakit, karena ia tahu ia akan sering dihentikan di sepanjang jalan oleh para orangtua yang khawatir, yang meminta doa untuk anak-anak mereka. Belakangan ini ia juga mendapati dirinya berhenti sejenak untuk mengambil napas. “Saya merasakan hal-hal yang sebelumnya tidak saya rasakan. Hal-hal yang tidak saya rasakan lima atau sepuluh tahun yang lalu.” Di rumah sakit, tim berkumpul untuk menyanyi dan berdoa, dan Muthumbi menguatkan para pekerja itu dengan Firman Tuhan.

Bagi setiap kamar rumah sakit yang ia kunjungi, Muthumbi adalah keharuman Kristus. Ia duduk bersama ibu-ibu yang anaknya menderita sakit kanker, masalah pernapasan, pneumonia, dan jantung. Tuberkulosis paling umum. Mereka sering bertanya dengan hati hancur, “Mengapa hal ini terjadi pada anak saya?”

Keluarga-keluarga mengalami stres yang luar biasa. Uang sulit didapat, dan keluarga-keluarga seringkali harus berpisah – ibu cenderung tinggal bersama anak yang sakit, sementara ayah tinggal bersama anak-anak yang lainnya. Banyak keluarga yang hancur di bawah tekanan. Muthumbi sudah menyaksikan semua itu dan ia memberikan segala yang ia miliki kepada setiap orang, duduk dan berdoa selama yang mereka butuhkan. “Saya hanya perlu membagikan Yesus,” katanya. “Ini seperti membawa orang dari kematian kepada hidup. Saya mencintai pekerjaan di sini.”

Beberapa bulan yang lalu, Muthumbi memakai masker dan alat pelindung diri untuk mengunjungi seorang anak di kamar isolasi medis. “Ia amat sangat sakit,” katanya, “Saya menceritakan padanya apa yang dikatakan Tuhan Yesus tentang anak-anak.” (Lihat Matius 18:1-5; Markus 10:13-16). Anak itu menyerahkan hidupnya kepada Tuhan. “Satu minggu kemudian ia sudah pergi ke surga dan jasadnya dimakamkan. Ia pergi sebagai anak yang sangat bahagia, padahal sebelumnya ia sedih sekali karena tidak ada orang yang datang ke kamar itu.”

Ketika harinya yang melelahkan berlalu, Muthumbi berdiri di rumahnya, menghadap ke dinding tempat ia memasang kartu-kartu yang berisi nama setiap pasiennya. “Itu seperti gambar/foto mereka, agar saya ingat untuk mendoakan mereka sebelum saya tidur.” Hari-harinya menjadi semakin tidak mudah ketika ia sudah bekerja belasan tahun setelah pikirannya yang pertama untuk pensiun, tetapi sukacita dan kekuatan Tuhan selalu menopangnya. “Saya memberikan seluruh hidup saya untuk ini. Tuhan sudah memanggil saya dan saya mendengarkan Dia. Dan saya berkata pada Tuhan, ‘Aku akan melakukan apa saja yang Engkau mau aku lakukan sebagai hamba-Mu.’”