Tak Ada Lubang Yang Terlalu Dalam (Craig Borlase)

Di tempat yang dilanda perang, lubang-lubang kesengsaraannya sangatlah dalam. Tetapi sebagaimana dialami orang-orang Kristen yang teraniaya hari lepas hari, kasih Allah selalu dapat menjangkau yang terdalam.

Tak ada LubangJaraknya hanya beberapa kilometer, tetapi dalam perjalanan singkat dari hotel kami ke kamar sewaan, di mana satu keluarga yang terdiri dari lima orang pengungsi menghadapi anak tengah mereka yang kesulitan bernapas, segalanya berubah bagi saya.

Tidak ada gedung-gedung dari kaca dan baja serta para satpam yang berjaga di luar rumah-rumah mewah. Tidak ada pula stan-stan kecil mungil yang menjual shawarma (semacam roti lapis berisi daging) yang ditandai dengan kerumunan kecil orang-orang yang menunggu di depannya dan menghalangi trotoar.

Di sini, di bagian timur kota Amman, Yordania, segalanya sangat berbeda. Kendaraan bergerak perlahan, para pedagang di jalanan berdiri sendirian, dan di setiap sudut ada belasan pria berpakaian kumal yang berdiri seperti pohon-pohon tua setelah badai musim dingin. Mereka tampak lemah, rapuh, lelah dan tak mampu berada di tempat lain kecuali di sana.

Serangkaian belokan membawa kami ke jalan rahasia yang kotor. Kucing-kucing kurus bermain di antara timbunan sampah, bergerak jauh lebih leluasa daripada di tempat para pengungsi berikutnya, yang pakaiannya sobek-sobek sampai membuat mereka seperti berdiri dalam debu.

Di luar mobil tercium bau kemiskinan. Di dalam kamar itu tercium bau kematian. Pada saat kami tinggalkan, keluarga itu memiliki makanan, selimut, dan janji bahwa anak mereka akan mendapat penanganan lebih lanjut, yang semuanya atas kemurahan dan belas kasihan sekelompok orang Kristen setempat. Mengingat tingkat kesulitan yang mereka hadapi, semua itu tidak lebih dari sekadar Band-Aid (plester luka). Tetapi itulah berita terbaik yang dapat diterima keluarga itu dalam minggu-minggu itu.

Perjalanan yang membawa saya pertama kali ke Yordania dan kemudian ke Irak awal tahun ini memberikan serangkaian pengalaman yang membuat saya banyak mempertanyakan yang saya percayai. Persepsi saya tentang para pengungsi, sifat konflik di Timur Tengah, apa yang merupakan ekspresi penuh dari kemurahan hati, dan bagaimana Kekristenan dapat tumbuh subur dalam kondisi-kondisi yang paling sulit – semuanya “dibongkar” secara menyeluruh dalam pelajaran beberapa hari saja.

Untuk semua itu dan yang lain lagi, saya merasa sangat bersyukur.

“Itulah saat saya menjadi percaya. Itulah awal kehidupan baru saya.”

Bermula dari ketika saya bertemu dengan seorang wanita yang sebut saja bernama Ameena. Sebagai mantan seorang Muslim, ia dulu memiliki keluarga di Bagdad, namun ketika suaminya menjadi Kristen, hidupnya menjadi sulit dan berbahaya.

“Saya katakan ia harus kembali kepada keyakinannya (Islam), tetapi ia berkata saya harus pergi dan berbicara kepada pendeta di gerejanya. Saya pergi ke sana tetapi tidak menemukan pendeta itu. Jadi saya mulai berdoa dan berkata, ‘Ya Allah, tolong lakukanlah sesuatu. Saya harus menyelamatkan suami saya.’ Saya tidak merasakan apa-apa. Jadi saya mengubah doa saya: ‘Jika suami saya benar, buatlah supaya saya mengerti.’ Saat itulah saya merasakan – ada sebuah tangan yang besar di bahu saya. Saya membuka mata untuk melihat siapa yang menyentuh saya, tetapi tidak ada siapa-siapa di sana. Itulah saat saya menjadi percaya. Itulah awal kehidupan baru saya.”

“Setelah itu, segalanya berubah dengan sangat cepat. Saya bebas. Tidak ada lagi ketakutan, hanya damai sejahtera. Saya melihat Islam secara berbeda setelah itu. Ada sesuatu di dalam Al Qur’an yang memaksa orang untuk bertindak, tetapi perasaan bebas sebagai orang Kristen benar-benar baru. Kasih, penghargaan seperti itu – tak pernah saya rasakan ketika saya menjadi orang Muslim.”

Meskipun usaha-usaha Ameena untuk membuat suaminya kembali ke Islam membuat ia sendiri mengalami perjumpaan dengan Yesus, sahabat suaminya adalah seorang pendudung ISIS yang kuat. Ketika desas-desus tentang “kemurtadan” suami istri itu tersebar, berbagai ancaman datang. Akhirnya mereka harus meninggalkan Irak.

Di Yordania, Ameena dan suaminya menemukan komunitas Kristen yang mendukung mereka bukan saja secara finansial tetapi juga secara spiritual. Mereka mengajarkan Ameena tentang hidup dalam komunitas, tentang doa, dan pengampunan.

“Bulan lalu sahabat saya yang kembali ke Irak diserang, diperkosa dan dibakar. Ia seorang Kristen. Suami saya juga punya teman seorang Kristen, dan mereka membunuhnya juga. Mereka mengirimkan foto mayatnya, yang digorok lehernya. Pesan mereka berbunyi, ‘Kalian akan menjadi yang berikutnya.’”

“Bagaimana saya harus bersikap? Saya merasa marah selama beberapa hari, menangis, tidak mau berbicara dengan siapa pun. Tetapi kemudian saya menerimanya dan terus berdoa. Saya percaya kepada Yesus: saya berdoa untuk keluarga mereka, untuk pembunuh itu, agar mereka bisa mengetahui sesuatu tentang Yesus. Terkadang saya berdoa untuk ISIS: ‘Yesus, buatlah mereka tahu tentang siapa Engkau’.”

Untuk masuk ke Irak tidaklah sesulit yang mungkin Anda bayangkan, apalagi jika Anda masuk ke wilayah yang dikuasai orang Kurdi di timur laut. Orang-orang Amerika dan Inggris seperti saya disambut dengan tangan terbuka di imigrasi: dua detik melirik paspor, tanpa pertanyaan, dan stempel izin masuk.

Irak adalah negara yang indah. Ketika kita berkendara dari satu kota ke kota lain – mengambil jalan memutar yang signifikan untuk menghindari wilayah Mosul yang dikuasai ISIS – pemandangannya sangat menakjubkan, dan sama sekali tidak tampak kumuh dan berdebu seperti yang sebelumnya saya bayangkan. Kami berjalan di pegunungan bersama kambing-kambing, para gembala dan anjing-anjing mereka. Dari tempat-tempat yang tinggi, tanah itu terbentang luas, bernuansa hijau seakan ada yang menghamparkan selimut tipis berwarna rumput di atas sekumpulan batu-batu. Dan dataran Niniwe tampak seperti sebuah samudera.

Di sebuah kota yang berbatasan dengan gunung-gunung itu, saya berjumpa dengan seorang pria lain yang tidak dibesarkan sebagai orang Kristen. Lahir sebagai orang Muslim, Sherzad pernah bertemu dengan Saddam Hussein. Tidak semua tentara Irak bisa memiliki akses itu, tetapi Sherzad memang istiwewa. Ia dulu, seperti diakuinya dengan ringan, adalah “orang jahat,” dan orang-orang jahat didukung oleh pemerintah.

Segala sesuatu berubah selama perang, dan setahun setelah kematian Saddam Husein, Sherzad meninggalkan ketentaraan dan bekerja di sebuah perusahaan ponsel. Tetapi ia jauh dari aman, sebagaimana yang dialaminya pada suatu hari. “Saya sedang berada di utara Bagdad ketika Al-Qaida menculik dan memasukkan saya ke bagian belakang sebuah mobil. Setiap dua jam mereka memukuli saya dengan ujung senapan AK-47. Mereka tahu nama saya, mereka tahu saya bekerja sebagai insinyur sipil dan mereka menginginkan uang.”

Selama empat hari pemukulan itu terus berlangsung, menghancurkan hidungnya, meremukkan tempurung lututnya, dan merusak ginjalnya. Dan kemudian sesuatu yang mengherankan terjadi.

“Saya tidak tahu apakah saya sedang bangun atau tidur, tetapi saya melihat seseorang masuk ke ruang tempat saya berada. Ia memandang saya dan berkata dalam bahasa Arab, ‘Ana Isa …’ yang berarti ‘Akulah Yesus.’ Ia berkata pada saya, ‘Pulanglah.’ Saya bertanya pada-Nya, ‘Engkau serius?’ Tetapi Ia kembali berkata: ‘Pulanglah.’ Saya memandang ke sekitar dan melihat para penjaga itu mulai bertengkar satu sama lain. Salah satu dari mereka menembak yang lain, jadi saya langsung membuka pintu, melangkah ke jalan, dan mencari taksi untuk mengantar saya pulang.”

Ketika bertemu istrinya, Sherzad berusaha menjelaskan segala yang terjadi padanya. “Aku tahu,” sela istrinya. “Aku telah melihat Yesus dalam mimpiku. Dia berkata padaku bahwa Dia telah menyelamatkanmu dan kamu akan segera pulang ke rumah.”

Setelah penyelamatan yang dramatis itu, Sherzad dan istrinya langsung beralih kepada Kekristenan dan menceritakan kepada orang-orang lain tentang semua yang terjadi pada mereka. Tidak seorang pun percaya – para atasan Sherzad hanya tertawa ketika ia bercerita pada mereka – tetapi sikap skeptis dan cemoohan kecil ini tidak sebanding dengan iman baru mereka.

“Yesus telah mengubah saya dari orang jahat menjadi orang baik. Dan sekarang saya tidak takut apa pun. Saya mengasihi Yesus dan saya ingin semua orang percaya kepada-Nya. Dialah harapan semua orang, Jika Dia dapat menyelamatkan dan mengampuni saya, jika Dia dapat mengasihi dan menjangkau saya, jika Dia dapat mencapai batu karang itu dan menolong saya, Dia tentu dapat melakukannya pada siapa saja.”

“Allah menciptakan kita untuk sesuatu yang lebih dari sekadar menjadi gemuk, kaya dan bahagia.”

Saya juga berjumpa dengan orang-orang lainnya: para penginjil yang selalu hidup dalam bahaya sehingga mereka harus berpindah-pindah setiap bulan; para pengungsi yang bekerja sebagai pendeta yang menyamar di barak-barak pengungsian; para konselor trauma yang melayani wanita dan anak-anak perempuan Yazidi yang diselamatkan dari ISIS. Setiap percakapan membuat saya terheran-heran akan kebaikan Allah, keberanian sesama orang percaya, dan kekuatan menanggung risiko bagi Allah melalui doa.

Tetapi yang benar-benar mengherankan saya adalah wawancara-wawancara terakhir. Luke bukan pengungsi, bukan mantan Muslim, atau orang Irak. Ia orang Amerika, dan ketika lulus perguruan tinggi, ia melepaskan prospek untuk berkarier dalam bisnis yang menguntungkan demi mengejar firasat bahwa Allah memanggilnya dalam petualangan yang berbeda, untuk bekerja di tengah orang-orang Kristen yang teraniaya.

Saya berjumpa dengannya ketika ia sudah 11 tahun dalam perjalanannya. Dalam waktu satu dasawarsa lebih itu saja, Allah sudah memberinya hikmat yang bernilai seumur hidup.

“Saya sudah melihat bahwa ISIS itu mengerikan,” Luke berkata. “Itu terorisme yang diterapkan di semua level baru. Jahat sekali. Tetapi kerajaan Allah justru makin berkembang di Irak. Ketika gereja berusaha dihancurkan, ia justru berkembang luar biasa. Gereja bertumbuh ketika menghadapi kesulitan.”

“Jadi dengan cara yang aneh, ada berkat dalam penganiayaan. Saya sudah bertemu dengan ribuan orang Kristen yang dianiaya karena iman mereka, dan saya melihat kekuatan iman yang luar biasa dengan bersandar pada Allah, yang hanya terjadi karena mengalami penganiayaan.”

“Pendeta-pendeta mengatakan hal yang sama di sini – bahwa orang-orang Kristen di Irak (dahulu) merasa puas dengan diri mereka sendiri. Mereka makmur, (dengan) tidak membutuhkan Allah; mereka lebih merupakan orang Kristen karena identitas daripada relasi. Namun, baru ketika Anda kehilangan segalanya Anda berpaling kepada Allah dan mulai sungguh-sungguh berbicara pada-Nya. Baru ketika Anda dianiaya atau terkena penyakit kanker, Allah menjadi nyata.”

“Tinggal di Irak, saya melihat ke Barat dan bertanya-tanya, apakah tipu muslihat Iblis untuk menjauhkan orang dari Allah adalah dengan memberikan kenyamanan, melimpahkan kekayaan sehingga mereka merasa tidak membutuhkan Allah. Iblis mengetahui kelemahan-kelemahan Anda. Salah satunya adalah impian kapitalis, berdiri di atas kaki sendiri dan mengusahakan segalanya sendiri. Semua itu ada sisi baiknya, tetapi itulah pembelokan agar “Anda tidak benar-benar membutuhkan Allah.”

“Saya melihatnya di Perjanjian Lama. Allah tidak puas jika umat-Nya nyaman-nyaman saja. Dia tampaknya akan membuat kita keluar dari zona nyaman dan menempatkan kita dalam situasi-situasi yang membuat kita bersandar pada-Nya. Itu adalah bagian dari sifat relasional-Nya. Dia menciptakan kita untuk lebih dari sekadar menjadi gemuk, kaya dan bahagia.”

Saya meninggalkan Irak tak lama setelah bercakap-cakap dengan Luke. Semakin saya memikirkan kualitas-kualitas yang tampak pada orang-orang yang saya jumpai – pengampunan Ameena, keberanian Sherzad, kesediaan Luke untuk melepaskan segala kelimpahan hidup dan berfokus pada yang benar-benar berharga – semakin saya menyadari bahwa saya telah berhadapan dengan beberapa orang Kristen paling dewasa dari yang pernah saya jumpai. Di hadapan mereka saya merasa kecil, seperti seorang anak kecil yang mengharapkan tandatangan orang-orang terkenal di luar stadion.

Semua sudah memberi dampak.

Kita terkadang merasa seperti para pengungsi di Amman – terlalu lemah dan rapuh untuk menghadapi persoalan-persoalan di sekitar kita, terlalu dibebani masalah kita sendiri untuk membiarkan Allah memakai kita bagi kepentingan orang lain. Padahal iman kita dirancang untuk berkembang. Kita diciptakan dengan tujuan untuk menunjukkan kasih karunia dan kemurahan kepada orang lain, untuk berkata jujur dan berani tentang yang kita percayai, dan menolak godaan untuk hidup bagi tujuan-tujuan kita sendiri yang dangkal.

Seperti dikatakan Corrie ten Boom, “Tidak ada lubang yang terlalu dalam yang melampaui kasih Allah yang terlampau dalam.” Dan saat kita menyadarinya, kita sedang sedikit lebih banyak dalam memahami  apa artinya bertumbuh bagi orang Kristen.