Tempat Kita Menjadi Bagian

(Kayla Yiu)

Di dalam tubuh Kristus, pengalaman kita mungkin tidak sama persis, tetapi kita tetap satu.

Sebagian besar rumah-rumah di jalan tempat saya tinggal dibangun pada awal abad 20-an. Jika Anda sempat mendengarkan, Anda bisa mendengar lantai-lantainya agak berderit seperti suara kursi yang diduduki wanita tua gagahselepas makan malam. Grendel-grendel pintu dan jendela sedikit bergetar ketika lemari-lemari ditutup, dan tonjolan-tonjolanpintu yang dicat memperlihatkan semua lapisan yang ada di bawahnya.

Selama bertahun-tahun, di antara dua rumah tua ituada sebidang tanah kosong. Dipenuhi semak-semak yang tumbuh subur dan pohon-pohon yang menjulang tinggi, iadengan bangga menghiasi jalan seperti rumah-rumah yang berderit itu. Berada di lokasi dekat rel kereta api, kereta bawah tanah, dan jalan-jalan kota besar, area ini menangkap banyak hal: bisikan para penumpang kereta yang berjalan pulang dari bekerja di kota terdekat, bungkus-bungkus biskuit dan makanan ringan, pecahan botol Cocacola, dan kantong plastik yang bolak-balik beterbangan ditiup angin.

Dua tahun lalu, rumah saya dibangun di tanah kosong ini. Rumah yang dirancang untuk menyatu dengan rumah-rumah tua itu, kecuali jalan masuk yang bersih dan tidak terputus. Meskipun bagian dalamnya, dengan engsel-engsel yang halus dan mesin-mesin yang berdengung, mengungkapkan usia yang sebenarnya, tetapi rumah saya telah menjadi bagian dari lingkungan itu—begitu pula saya dan suami.

Sekarang, setelah kami mendiaminya, kami sudah memotong, mengurai, dan membersihkan semak-semak yang kami warisi. Sejauh ini, kami berdua sudah menemukan setidaknya 25 botol kaca, banyak kantong plastik dan bungkus makanan, sebuah mainan The Incredibles, rangka panggangan, sepasang kaos kaki Jordan, mobil-mobilanHot Wheels, dan dua baju kaos. Setiap kali saya menemukan sesuatu yang baru, saya diingatkan tentang betapa tuanya usia tanah ini, dan betapa sedikitnya sejarah yang berhubungan dengan saya. Kami menyebut rumah,semak-semak dan pepohonan ini milik kami—dan kami memiliki dokumen-dokumen resmi sebagai buktinya—tetapi waktu keberadaan kami di sini hanyalah sebuah noktah dalam sejarahnya.

Sesungguhnya, saya merasakan hal yang sama ketika membaca tentang Khotbah di Bukit Tuhan Yesus. Saya mengikuti, menghubungkan dengan kata-kata-Nya, sampai Dia memberkati orang-orang yang dianiaya—dan tiba-tiba saja saya merasa membaca dari kejauhan. Saya seperti sedang berada di halaman belakang rumah saya menggali sebuah botol minuman berenergi Powerade yang sudah setengah diminum, dan menyadari betapa sedikitnya bagian tentang saya dalam cerita ini.

Apa yang saya ketahui tentang penganiayaansistemik? Saya dibesarkan di Amerika Serikat bagian selatan, di mana Kekristenan bukan saja diperbolehkan tetapi juga diterima, bahkan mungkin diharapkan. Saya kira pertentangan yang saya hadapi paling-paling hanyalahberbeda pendapat dengan tetangga. Padahal penganiayaan yang dibicarakan Yesus adalah penganiayaan sehari-hari yang meluas, mengancam. Dia sedang menyebuttentanghal yang hanya saya jumpai di buku-buku.

Saya ingat bagaimana buku-buku sejarah itu dulu tergantung berat di pundak saya, begitu tebal sampaiyang satu selalu membelit yang lainnya. Setiap bukudijejali dengan pergolakan politik, kemajuan teknologi, perang, dan tragedi. Namun sepadat-padatnya, setiap buku hanya membahas yang menjadi sorotan di wilayah atau kurun waktu tertentu saja.Bagaimana dengan detail-detail yang ditinggalkan, kisah-kisah yang tidak diceritakan? Sementara keselamatan yang ditawarkan Yesus mencakupsetiap gejolak itu—secara politik atau budaya, pada orang yang dianiaya atau yang luput, didokumentasikan atau pun tidak—selama ribuan tahun. Silsilah orang-orang yang mengasihi Yesus itu panjang, seperti sejarah dunia yang bergejolak itu.

Dan warisan yang kaya itu menjadikan kitasebuah gereja yang meluas dan kokoh. Setelah bertahun-tahun bertumbuh di kalangan Injili Barat, saya kadang lupa bahwa ada cara-cara lain untuk menyembah, memuridkan, dan percaya kepada Anak Tuhan yang bangkit. Beberapa tahun yang lalu ketika gereja Sri Lanka dibom pada hari Paskah, saya ingat saya merasa sedih membaca berita utama tentang “penganiayaan orang Kristen,” tetapi kemudian saya merasakan disonansi yang aneh setelah mengetahui bahwa gereja itu adalah gereja Katolik Roma. Kurangnya pengalaman saya denganKatolik entah bagaimana membuat sesama orang Kristen itu seperti tidak berhubungan. Tentu saja memang ada hal-hal yang mungkin kita tidak sepaham. Tetapi seberapa jauh kita bisa menyembah Juru Selamat yang sama?

Sejujurnya, saya mungkin merasa seperti orang luar di banyak tempat ibadah di seluruh dunia hanya karena luasnya, indahnya dan kompleksnya gereja itu. Tetapi keragaman itu, dan kurangnya pengetahuan saya tentang hal itu, tidak menghalangi saya atau siapa pun yang lainnya untuk menjadi bagian di dalamnya. Hal itu hanya mengingatkan saya tentang betapa kecilnya saya dan betapa perjalanan gereja yang berabad-abad di masa lalu, sekarang, dan yang akan datang—dan meliputi garis lintang dan garis bujur—tidak lain adalah pekerjaan Tuhan yang bijaksana, tekun, dan teliti.            

Ketika saya memikirkan Ucapan-ucapan Bahagia, dan berkat Yesus bagiorang-orang yang dianiaya, saya menyadari bahwa, saya (semoga) kemungkinantidak akan mengalami penindasan sistemik. Dan untuk itu saya ucapkan Amin, dan Tuhan melindungi orang-orang yang mengalaminya. Tetapi alih-alih membiarkan berkat ini membuat saya merasa jauh dari tubuh Kristus, di masa lalumaupun sekarang, saya berharap saya bisa memiliki visi untuk memahami tentang keutuhan gereja itu dengan lebih jelas. Untuk memahami bagaimana orang percaya, dengan berbagai bentuk, era dan gayanya, dapat bertahan dan berkembang dalam pemeliharaan Tuhan yang penuh kasih.