Tetap Berjaga-Jaga Seperti Seorang Anak Kecil

(Christie Purifoy)

Tentang doa sebagai langkah antisipasi

Sebagian besar dari kita mengunci pintu-pintu pada waktu malam. Sebagian dari kita memasang “alarm” tanda bahaya. Tetapi kita tidak lagi mengamankan tidur malam yang damai dengan para pengintai yang mondar-mandir di tempat tinggi. Tidak ada yang berpatroli di bagian luar tempat kediaman kita. Tidak ada yang berjaga di benteng-benteng, dengan tombak di tangan, sementara kita bermimpi. Tidak ada yang menyentuh bahu kita dan berbisik, “Ayo bangun. Sudah giliranmu untuk berjaga-jaga.” Dinding-dinding batu kita dihiasi dengan baik. Tempat-tempat tinggi kita merupakan tempat-tempat yang menyenangkan untuk piknik dan mendaki. Tetapi para pengintai yang dahulu itu tidak hanya mengawasi ancaman. Mereka juga mempelajari batas cakrawala dengan sikap antisipasi. Mereka mengamati dan menantikan saudagar yang membawa barang-barang bagus, utusan yang membawa kabar gembira, atau orang buangan yang akhirnya pulang.

Kisah-kisah yang saya bacakan kepada anak-anak saya setiap malam bertaburan dengan para pengintai—yang menyelinap di pohon-pohon, mondar-mandir di tembok menara, mengawasi dengan kacamata pengintai. Mungkin itu sebabnya anak-anak saya masih melakukan seni “berjaga-jaga” yang hilang. Putri saya akan duduk lama-lama di dekat jendela menghadap ke jalan masuk rumah kami. Ketika hujan membasahi jendela, ia akan menempelkan dahinya di kaca yang dingin dan menunggu. Ia akan menjadi orang pertama yang memberitahu kami ketika Ayah pulang. Terkadang ketika saya menyiangi bunga-bunga di taman seberang pekarangan yang tampak dari jendela lantai dua anak-anak saya, saya akan mendengar suara-suara ketukan. Anak-anak saya berdesak-desakan di depan jendela atas, memandang dunia yang terbentang di bawah mereka dan mengetuk untuk menarik perhatian saya. Mereka melambaikan tangan. Saya balas melambaikan tangan.

Dulu saya pikir para pengintai itu hanya ada dalam cerita-cerita dongeng dan fantasi anak-anak saya saja, tetapi baru-baru ini saya menemukannya ketika saya membaca kitab Yesaya: “Di atas tembok-tembokmu, hai Yerusalem, telah Kutempatkan pengintai-pengintai. Sepanjang hari dan sepanjang malam, mereka tidak akan pernah berdiam diri. Hai kamu yang harus mengingatkan TUHAN kepada Sion, janganlah kamu tinggal tenang  dan janganlah biarkan Dia tinggal tenang, sampai Ia menegakkan Yerusalem dan sampai Ia membuatnya menjadi kemasyhuran di bumi” (Yesaya 62:6-7). Namun, para pengintai ini bukan para pengawal jaga yang hening dalam cerita-cerita pengantar tidur kita. Saya menutup Alkitab dan menundukkan kepala, tetapi sebelum saya bisa mulai berdoa, satu pertanyaan muncul di pikiran saya: Bagaimana jika doa bukanlah sesuatu yang Anda lakukan, tetapi sebuah tempat untuk Anda berdiri?

Kita tahu tempat-tempat semacam itu setidaknya cocok untuk berdoa. Yesus sering menarik diri, mencari tempat yang sunyi, untuk berdoa. Dalam sebuah perumpamaan, Dia memuji pemungut cukai yang tidak membanggakan diri seperti orang Farisi, tetapi berdiri jauh-jauh dan berdoa dengan kerendahan hati (Lukas 18:13). Dia juga menasihati para pengikut-Nya untuk berdoa di “kamar tertutup” dan bukan di tempat terbuka supaya dilihat orang (Matius 6:6). Tempat-tempat doa ini tentu saja menjadi sangat penting karena sikap hati yang mendukungnya. Kita mencari tempat yang tenang karena, seperti Yesus, kita ingin mendengar bisikan Bapa kita. Kita berdoa di tempat tersembunyi karena kita tahu doa tidak boleh menjadi alat untuk meninggikan status kita di mata orang lain. Lalu, bagaimana dengan para pengintai di kitab Yesaya? Bagaimana dengan orang yang mondar-mandir di menara tinggi, yang mengingatkan Tuhan akan janji-janji-Nya? Di tempat tinggi itu, berdoa merupakan sikap menanti dan berjaga-jaga. Inilah yang dimaksud dengan doa sebagai langkah antisipasi.