Pengejaran Hidup yang Lebih Mendalam
Mencari kebahagiaan mungkin merupakan tujuan dunia, namun bukan itu tujuan kita sebagai orang Kristen. Sebaliknya, Tuhan memanggil kita untuk mencari sukacita.
Oleh : Patrick Stafford
Anak laki-laki saya berusia 12 minggu sekarang, dan jujur saja, saya hanya menikmati sedikit dari masa itu.
Ada perpaduan emosi yang tidak nyaman yang muncul dari kelahiran seorang anak. Yang pertama, tentu ada kegembiraan. Kemudian kegelisahan mulai terbangun, seolah-olah realita tentang apa yang akan terjadi mulai perlahan menaungi Anda. Namun tidak akan ada peringatan dari teman atau anggota keluarga yang dapat mempersiapkan Anda untuk menghadapi tantangan terbesar. Dan bukan, ini bukan masalah perawatan anak atau bagaimana menjadi orangtua. Ini adalah masalah-masalah kecil seperti mengisi botol air berulang kali, pergi ke supermarket pada tengah malam untuk keperluan mendadak, dan Anda tidak pernah benar-benar memiliki waktu untuk diri Anda sendiri.
Begitu pula dengan sebagian besar momen-momen penting. Contohnya, kita berusaha untuk mendapatkan promosi dan pengakuan di tempat kerja, dan kerja lembur serta mata yang lelah menjadi ganjarannya. Dan saat kita pensiun, dan mengharapkan “kehidupan yang baik”, entah bagaimana kesehatan kita malah kurang baik dan apa yang kita butuhkan kurang terpenuhi. Dalam segala hal, kita mengharapkan berkat datang disertai dengan perubahan baik, namun yang sering terjadi adalah berkat datang disertai dengan lebih banyak pekerjaan dan bahkan masalah. Matt Chandlermerangkum masalah ini dengan ringkas: “Semua kekecewaan lahir dari harapan yang tidak terpenuhi.”
Hal ini penting untuk dipahami sebab celah antara harapan kita dan realita adalah tempat dimana dosa berada. Ketika harapan kita untuk kesehatan, keamanan, kenyamanan, dan kesuksesan tidak terpenuhi, kita lalu menipu diri kita sendiri dengan berpikir bahwa karena kita telah bekerja keras, imbalan yang kita bayangkan seharusnya diberikan. Lagipula, kita layak menerimanya. Saya mengetahui benar hal ini oleh karena saya melakukannya setiap hari. Saya pulang ke rumah setelah bekerja selama 10 jam dan setelah itu saya harus melakukan peran saya sebagai ayah. Namun tanpa ada orang yang tahu, beberapa detik sebelum saya tiba di rumah, harapan saya adalah saya dapat beristirahat tanpa melakukan pekerjaan lainnya. Memang gila, tapi itulah yang saya harapkan. Namun ini tidak bersifat eksklusif hanya bagi para orangtua. Bisa juga masalah sepele, seperti sedang duduk dengan membaca buku yang bagus dan kemudian diganggu oleh pasangan kita atau teman kita yang minta tolong untuk melakukan sesuatu. Atau bisa jadi sesuatu yang lebih serius, seperti berharap seseorang di gereja tidak akan muncul lagi sebab Anda lelah berurusan dengan dirinya. Perasaan yang Anda rasakan saat ia akhirnya tiba di gereja bukanlah kekecewaan, melainkan kebencian. Dan itu berbahaya.
Salah satu nasehat terbaik yang saya pernah baca terdapat dalam buku karya Gary Thomas,Sacred Marriage. “Pernikahan bukanlah tentang membuat Anda bahagia,” katanya. “Pernikahan itu tentang membuat Anda kudus.” Dari perspektif ini, kehidupan Kristiani dibingkai dengan cara yang sepenuhnya baru. Hal-hal yang kita lakukan di bumi ini –segala urusan yang nyata dan merepotkan untuk menyediakan, merawat dan bersabar dengan anak-anak kita – tidaklah dimaksudkan untuk menyenangkan hati kita. Tuhan memanggil kita untuk mendapatkan sukacita.