Berkat dari Kejujuran

Sebelum pelayanan yang sejati dapat terjadi, kita harus bersedia untuk menjadi rentan.

Oleh: Michael Morgan

Untuk beberapa alasan, istri saya dan saya nampaknya suka melakukan perubahan besar dengan tidak tanggung-tanggung. Menikah? Mari tambahkan dengan pekerjaan yang baru pada saat yang bersamaan. Mempunyai bayi yang tidak tidur selama sembilan bulan pertama? Mari kita pastikan bahwa hal itu ditambah dengan mengganti pekerjaan lagi dan membeli rumah sekaligus. Dan pastikan bahwa rumah baru yang bergaya lama itu memiliki lantai yang berderit, sehingga kami dapat membangunkan bayi kami yang jarang tidur itu sesering mungkin. Setidaknya kami menyukai tantangan.

Kami tergoda untuk mempertahankan pergumulan kami tetap besar, namun kemudian akhirnya kami bertengkar hebat tentang siapa yang memasukkan piring kotor ke mesin pencuci dengan cara yang benar. Istri saya dan saya percaya kepada komunitas sebab kami tahu bahwa kami membutuhkannya. Pada saat kami kekurangan, kasih karunia Tuhan ada atas pernikahan kami saat kami mencari pertolongan dari tangan dan kaki Yesus, dengan kata lain saat kami terbuka kepada anggota jemaat gereja kami (I Korintus 12:1-31). Ini, tentu saja, berarti bahwa kami harus menelan keangkuhan kami.

Apa yang kita dapat katakan tentang keangkuhan? Keangkuhan memang datang sebelum kejatuhan, namun sesungguhnya keangkuhan akan mengerjakan seluruh pekerjaan untuk menghancurkan diri sendiri bila ia diberi kesempatan. Keangkuhan mengeluarkan perpaduan arogansi dan rasa tidak aman yang sifatnya menghancurkan, sambil menggerogoti rasa syukur kita. Dan ketika kita berhenti berterima kasih kepada Tuhan dan orang lain, kita melupakan sukacita dan bahkan perlunya meminta tolong. Sebaliknya, kita terus berpikir bahwa kita sendirian dalam segala hal, suatu kebiasaan yang menjadi awal dari kesukaran kita.

Tentu saja, kita tidak merasakan hal itu saat semuanya berjalan lancar. Bahkan, masa-masa yang baik nampak membenarkan keangkuhan kita. Kita menutup diri sampai suatu hari kita kurang tidur dan berkelahi hanya karena piring kotor – dan tak seorang pun yang mengetahuinya.

Keangkuhan, dalam skala yang luas, terlihat dalam komunitas yang sopan dimana setiap orang mengatakan bahwa mereka “baik-baik” saja.

 Keangkuhan, dalam skala yang luas, terlihat dalam komunitas yang sopan dimana setiap orang mengatakan bahwa mereka “baik-baik” saja. Komunitas semacam itu mungkin nampak sopan pada hari Minggu pagi, namun sesungguhnya itu adalah kekacauan yang sunyi. Surat Yakobus mengingatkan kita bahwa Tuhan menentang orang yang congkak, namun mengasihani orang yang rendah hati (Yakobus 4:6). Kita semua membutuhkan anugerah-Nya hari demi hari – bahkan terkadang dua kali sehari – jadi bagaimana caranya seseorang dapat menjadi rendah hati?

Rendah hati dimulai dengan kejujuran – retakan pada dinding yang dibangun oleh keangkuhan di sekeliling kita. Keluar dari persembunyian akan merendahkan hati kita supaya kita dapat menerima perhatian dan bersyukur karenanya. Seiring berjalannya waktu, saat musim berganti, kita mendapati bahwa kita dapat memberikan kasih karunia yang sama yang kita telah terima. Pada skala yang luas, perhatian mengalir masuk dan keluar dari setiap kita, sama seperti nafas Roh Allah.

Saya harus akui bahwa terbuka terhadap seseorang tentang sakit hati atau kekecewaan yang kita alami bukanlah suatu upaya yang pasti atau dapat diprediksi. Mungkin Anda akan bertemu dengan sikap ketidakpedulian atau Anda bisa jadi bergosip. Bahkan mungkin Anda mendapati bahwa kesukaran mereka lebih buruk daripada kesukaran Anda sendiri, sekalipun hal ini tidak selalu menjadi hal yang buruk. Memperhatikan orang lain memiliki caranya sendiri untuk meredakan rasa sakit kita sendiri, mungkin karena kita tidak lagi berfokus pada diri kita sendiri. Kerentanan datang dengan suatu resiko dan karenanya meminta kita untuk membangun suatu budaya yang melindunginya. Sebagai permulaan: ketekunan, pengampunan dan keberanian, yang artinya kasih.

Namun, bayangkan suatu gereja yang dipenuhi orang-orang yang menyediakan ruang untuk percakapan yang lebih mendalam dan lebih jujur. Bayangkan suatu gereja yang dipenuhi orang-orang yang menghormati kerentanan dengan setia menjaga kepercayaan masing-masing. Sekalipun mencapai tujuan ini akan menjadi suatu pekerjaan yang tiada hentinya, namun suatu gereja yang dipenuhi orang-orang seperti ini merupakan hal terbaik yang dapat kita doakan. Sebab di tempat seperti inilah Roh Allah dan Firman-Nya dapat mengalir dengan bebas. Semuanya dapat dimulai dengan jawaban yang jujur ketika seseorang menanyakan tiga kata sederhana ini, “Bagaimana kabar Anda?”