Siapa Saja Selain Robbie (Tim Rhodes)

Seorang anak yang saya hindari di acara pulang-sekolah

Dua tahun lalu saya mulai menjadi sukarelawan disebuah acarakegiatan pulang-sekolah setiap hari Rabu. Saya punya impian untuk bisa masuk ke dalam kehidupan anak-anak yang mengalami situasi sulit dan membantu menyelesaikan setiap persoalan mereka.

Sejauh ini, mereka masih mengira nama saya Tom.

Setiap hari Rabu, setelah bekerja sepanjang hari, alih-alih merasa lega seperti biasanya ketika melangkah keluar dari kantor menuju tempat parkir, kadar stres saya malah meningkat. Andai saja Anda tahu betapa mulasnya perut saya dalam perjalanan ke acara itu, Anda mungkin mengira saya sedang menuju ke dokter gigi. Tetapi saya melakukannya setiap minggu. Rutinitasnya selalu sama, dan anak-anaknya juga luar biasa. Mengapa saya masih saja merasa tertekan?

Sukarelawan yang ada setiap hari hanya sedikit, sehingga tuntutan untuk membantu anak-anak mengerjakan PR sangat tinggi. Untuk berusaha mengurangi teriakan anak-anak, satu peraturan yang saya tetapkan ketika saya masuk ruangan adalah anak yang lebih dulu mengangkat tangan akan mendapat bantuan saya. Saya tidak ingin menunjukkan ada pilih kasih.

Suatu sore, ketika saya masuk kelas, saya melihat satu tangan langsung teracung di ruang itu.

Itu Robbie. Siapa saja asal bukan dia, pikir saya.

Robbie selalu menunjukkan ekspresi licik yang membuat Anda merasa seolah-olah ia berada satu langkah di depan Anda – seakan-akan ia sudah tahu cara-cara supervisi Anda dan melihat tepat ke area tersembunyi kepemimpinan Anda. Alih-alih mengerjakanPR dengan tenang, ia lebih sering mengganggu murid-murid lain, biasanya dengan kasar dan dalam bahasa Prancis, karena ia pikir orang dewasa tidak memahaminya. Ketika berada tak jauh dari murid-murid lainnya, ia tak akan tahan untuk tidak mendorong mereka keluar dari tempat duduk, atau melemparkan apa saja yang dipegangnya ke arah mereka.Bahkan pada saat-saat yang baik ketika ia menaati suatu permintaan, ia akan melakukannya sebagai hadiah untuk Anda, bukan muncul dari sikap menghargai.

Saya memaksakan sebuah senyum. “Hai Robbie! Apa yang bisa saya bantu untukmu hari ini?” Kami mencari tempat yang kosong dan kemudian duduk bersama sementara ia menarik buku catatan dari tas sekolahnya yang bertulisan Angry Bird.

Pada saat seperti ini, saya biasanya akan menghabiskan separuh waktu saya untuk berusaha membujuknya menunjukkan halaman-halaman yang harus dikerjakan, dan separuhnya lagI baru  benar-benar membantunya mengerjakan. Dan “mengerjakan” yang saya maksud di sini juga berarti ia hanya memberi jawaban-jawaban yang sangat “ngawur” dengan senyum licik itu untuk menunjukkan bahwa ia benar-benar anak yang sulit.

Dalam tulisan, semua ini kedengarannya sangat sepele. Tetapi saat menghadapinya secara langsung, rasanya benar-benar menjengkelkan.

Dalam hati, saya sudah bersiap-siap untuk bersitegang dengannya selama satu jam. Tetapi Robbie langsung membuka buku catatannya, dan menunjukkan halaman-halaman yang harus dikerjakan hari itu. Hari itu hari matematika, dan alih-alih meneriakkan sederetan angka-angka yang tidak tepat, ia memikirkan setiap soal dengan sungguh-sungguh, menghitung dengan jari-jarinya untuk menyelesaikan satu demi satu persamaan itu. Bahkan ketika ia salah, saya bisa katakan bahwa ia sedang berusaha.

Setelah mengerjakan PR, kami semua keluar ruangan untuk ke arena bermain. Robbie berjalan sambil menarik tangan saya dengan ringan. “Om Tom, maukah Om mewarnai bersama saya?”

Selama waktu istirahat di luar kelas itu, kami mewarnai seekor unicorn (kuda bertanduk) bersama-sama. Hanya Robbie dan saya, yang dengan hening menggosok-gosokkan krayon untuk menyelesaikan satu halaman gambar buku aktivitas. Meskipun kami duduk di tengah teriakan dan kegaduhan anak-anak yang sedang bermain, saat itu rasanya seperti hanya ada kami berdua di sana. Saya hampir dapat mendengar angin mendesirkan lagu gembira melalui pohon-pohon di sekitarnya. Tanpa memerlukan kata-kata – pesan Robbie terdengar keras dan jelas: “Terimakasih atas pengorbanannya yang sudah memperkaya hidupku, Om Tom.”

Salah satu film favorit saya ketika masih muda adalah Mr. Holland’s Opus. Dalam film itu, seorang guru musik sekolah menengah yang bernama Glenn Holland dikisahkan ingin mencurahkan seluruh hidupnya untuk mencapai prestasipuncak: menggubah simfoni orkestra. Meskipun pekerjaannya saat itu hanya dimaksudkan untuk mendukungnya sementara ia menggubah karya besarnya, pada akhirnya karier itu dijalaninya sampai puluhan tahun.

Ketika akhirnya ia terpaksa pensiun, pada hari perpisahannya, seluruh auditorium dipenuhi dengan murid-muridyang pernah disentuh oleh hidupnya, yang berkumpul bersama-sama untuk memberi kejutan padanya. Mereka semua disiapkan untuk memainkan simfoni terbaiknya. Dan pada saat itu ia pun menyadari apa yang sudah ia rindukan begitu lama – bahwa murid-muridnyalah opus atau hasil karyanya selama ini. Arti sebenarnya dari hidupnya bukanlah dengan mencapai impian masa mudanya, tetapi dengan memberi dampak positif padasetiap kehidupan muridnya. Saat menonton film ini di awal masa remaja saya, saya pun terharu dan mencucurkan airmata.

Dan sekarang, tak pelak, Robbie sudah menjadi opus saya.

Minggu berikutnya, dengan langkah-langkah yang lebih panjang, saya bersiul selama menuju ke acara pulang-sekolah itu, ingin segera bertemu dengan anak-anak dan melihat siapa lagi yang akan menerima impartasi kebijaksanaan saya berikutnya. Ketika saya memasuki ruangan dan mengamati tangan-tangan yang diangkat tinggi-tinggi,saya mencari tangan Robbie. Tetapi saya menemukannya sedang berkelahi dengan anak lain di sebuah area tempat duduk. Alih-alih berusaha keras mengerjakan pelajarannya, ia malah menghabiskan sebagian besar sore itu dengan melecehkan orang lain dan diri saya. Saya bingung menghadapi kenyataan bahwa anak yang begitu manis pada hari Rabu sebelumnya ternyata sama anehnya dengan unicorn yang ia dan saya warnai bersama-sama. Saya sempat berpikir serius untuk berhenti hari itu.

Berbuat baik tidak selalu membawa kegembiraan dan kepuasan, dan tidak harus. Pasti ada saat-saat menggairahkan dalam pengalaman melayani orang lain, tetapi mengharapkan hal itu selalu terjadi tidaklah realistis dan biasanya hanya akan menimbulkan kekecewaan dan kejenuhan. Perbuatan baik biasanya merupakan hal yang sulit, dan mungkin itu sebabnya ada begitubanyak kebutuhan.

Ketika menonton Mr. Holland’s Opus dan cerita-cerita lainnya yang sejenis, kita menempatkan diri dalam posisi sang pahlawan. Tetapi jika Glenn Holland pernah berpikir tentang murid-muridnya dengan mengantisipasi ganjaran di masa mendatang, ia tentu tidak layak mendapat penghargaan semacam itu.

Selama pelayanan “diturunkan”sebagai hobi yang saya lakukan untuk “menebus” atau mengurangi rasa bersalah saya atas gaya hidup dunia lama saya, saya akan selalu berusaha melihat apa yang bisa saya dapatkan dari hal itu.Saya melakukannya sepertisebuah transaksi, dan begitu saya tidak lagi mendapatkan yang saya pikir pantas saya dapatkan, keinginan saya untuk melanjutkan akan pudar. Memang, akan ada hari-hari, bulan-bulan, tahun-tahun di mana pelayanan yang kita lakukan terasa melelahkan dan sia-sia. Tetapi apakah itu berarti kita hanya melayani orang lain jika kita tahu hasilnya akan positif? Dalam hal apa pemahaman kita yang keliru tentang sukses menghalangi iman kita? Yesus tidak memisahkan dengan tepat antara kehidupan reguler dan kehidupan yang melayani. Dia tidak mengkhususkan waktu antara jam 5 sampai jam 7 malam dan menyebutnya “pelayanan.”

Setiap hari Sabtu pagi, saya membuat pancake bersama anak-anak saya. Si sulung membantu saya menata meja sementara saya memegangi anak tengah saya mengocok adonan. Hari Jumat sore, saya bersama para ayah tetangga lain akan membiarkan anak-anak kami bermain di lapangan, sementara kami duduk di luar, saling menguatkan satu sama lain dengan kisah-kisah kami di minggu itu sambil menjaga anak-anak kami dari cidera. Kemudian pada Rabu sore, saya akan pergibersama anak sulung saya ke acara pulang-sekolah itu untuk membantu mengerjakan PR dan menyiapkan makan malam untuk Robbie dan puluhan anak lainnya. Menolong Robbie bukanlah hal yang saya harus berhasil – itu adalah bagian dari pasang surut kehidupan dalam komunitas.

Ada beberapa minggu saya tidak datang ke acara pulang sekolah itu. Saya dengan sengaja menyibukkan diri dalam berbagai rapat di tempat kerja, atau sekadar meyakinkan diri saya bahwa saya merasa tidak cukup sehat untuk hadir. Terkadang korban perasaannya benar-benar tidak sepadan. Ada hari-hari di mana saya bergumul dengan kenyataan bahwa tidak banyak yang berubah dalam kehidupan murid-murid ini. Sesudah dua tahun lebih, Robbie tetap saja menjadi anak yang sangat sulit dan bermasalah.

Jika kita melakukan pelayanan dengan menyadari bahwa hal itu bukan serangkaian tugas tetapi akibat dari hidup yang memiliki tujuan dengan orang lain, kita akan tahu bahwa kita melakukannya bukan karena apa yang bisa kita dapatkan dari hal itu – kita melakukannya karena masalah-masalah Robbie.